70 - Silakan Pilih ✨

1.8K 271 59
                                    

Nayla melewati hari-hari terpuruknya dengan penuh usaha. Siapa sangka, orang sekitar hanya mampu melihat dan memandangannya sebelah mata. Mereka hanya tidak tahu seberapa besar usaha Nayla. Kini, gadis itu lebih berkembang jauh dari sebelumnya.

Nayla melangkah sendirian di sepanjang koridor sekolah. Langkahnya terlihat biasa, namun tergesa. Bunyi sirine pertanda apel pagi sudah terdengar, seluruh siswa harus berkumpul di lapangan secepatnya.

"Ngga, gue butuh bantuan."

"Apa?"

"Ajarin gue baca puisi yang bener."

Ingatan Nayla memutar memori lama sebelum hari ini, ketika ia meminta bantuan ke Rangga agar mau mengajarinya cara membaca puisi untuk mengikuti lomba.

Kini Nayla berdiri di barisan perempuan, di tengah lapangan, menunggu OSIS segera mengatur seperti biasa. Pandangannya fokus ke depan, tak terganggu oleh suasana ramai penuh drama pagi ini.

Semua orang sesekali melirik Nayla, masih dengan pandangan heran yang sama sejak awal masuk sekolah di kelas XI.

"Boleh, ayo, gue pernah belajar ini di teater, tapi ... ada syaratnya Nayl."

"Apa?"

Anggota OSIS berhasil mengatur barisan dengan cepat, membuat siswa-siswi akhirnya dapat menyanyikan lagu Indonesia Raya lebih awal. Setelahnya, seperti biasa OSIS akan membacakan sumpah siswa lalu dilanjut dengan arahan dan nasihat dari wakil kepala sekolah bidang kesiswaan.

Pak Azhar menyuruh seluruh siswa duduk di lapangan selagi berbicara. Banyak hal yang ia bahas, tetapi yang membuat seluruh mata siswa fokus seketika adalah saat nama Nayla disebut.

"Alhamdulillah siswa dari sekolah kita yang bernama Naylavia Aniendranova dari kelas sebelas IPA satu telah meraih juara dua dalam lomba puisi tingkat kota. Nayla, silakan maju untuk sesi foto penerimaan piala dan uang pembinaan bersama kepala sekolah."

Riuh tepuk tangan terdengar tatkala Nayla berdiri dan maju ke depan. Sorak-sorak gembira dan dukungan setelah sekian lama baru kali ini dirasakannya. Terselip rasa bangga yang besar pada diri Nayla karena akhirnya ia mendapat sebuah pengakuan.

Ia bisa.

Ia mampu.

Ia dapat kembali hidup.

Begitu Nayla berfoto memegang piala, piagam, dan uang pembinaan matanya tak sengaja teralihkan ke Rangga yang duduk di barisan paling depan. Nayla tersenyum ke arahnya, begitu juga Rangga yang mengacungkan jempol dan tersenyum bangga.

"Syaratnya, lo harus tinggal di sini, jangan ikut nyokap lo ke Singapura."

"Loh, kenapa?"

"Gue rasa ada yang mau disampaikan Raffael."

Tepat saat mengingat ucapan Rangga itu, mata Nayla tak sengaja menemukan Raffael yang duduk di tengah barisan siswa laki-laki, sekilas.

Di sana Raffael tersenyum semringah sambil melambai lalu mengatakan, "Heiyo Nayl!" tanpa suara.

"Oh kalau itu Ngga, gue ... nggak bisa."

"Kenapa?"

"Karena gue nggak tinggal di sini lagi."

* * * * *

Apa susahnya menyuruh Raffael untuk langsung mengatakan hal yang ingin disampaikan?

Pikiran Nayla terus bertanya seperti itu. Mengapa harus menunggu Raffael yang sekarang sudah terlihat lebih diam untuk berbicara? Biasanya, laki-laki itu selalu cepat mengatakan hal mengganjal.

Heiyo Nayl! Where stories live. Discover now