66 - Hilang Rasa ✨

1.1K 267 53
                                    

Aroma obat-obatan yang bercampur dengan pewangi ruangan kini menyeruak ke indra penciuman.

Tubuhnya terasa kebas dan kaku. Mencoba mengabaikannya, Nayla berusaha menggerakkan jari meskipun nyeri. Sebisa mungkin ia mengerjapkan matanya. Satu-satunya bagian tubuh yang sangat sakit tak tertahankan adalah pergelangan tangan hingga lengan.

Terasa sepi dan sendiri. Apa ia sudah mati? Tapi mengapa rasanya sesakit ini?

"Nayla sadar."

Mata Nayla terbuka. Silau cahaya ruangan menerpa. Di mana dirinya?

"Nayla, Nayla sudah sadar!" Nayla mendapati Wartoni yang kini duduk tepat di sebelahnya.

Sontak Nayla bangkit dari posisinya, mencoba memfokuskan pikiran. Otaknya dipaksa untuk mengingat kejadian lampau yang telah ia lakukan. Nayla hampir tidak ingat. Tetapi ketika matanya sudah terbuka lebar, pikirannya tersadar, dan ia sudah melihat beberapa orang yang dulu sangat diincarnya kini berkumpul, ia justru panik.

"Kok kalian ada di sini?" tanya Nayla dengan nada tinggi. Tubuhnya refleks bangkit dan tangannya menahan.

"Aw!" keluhnya saat tangannya memberikan rasa sakit yang amat menusuk.

Nayla menyadari tindakan yang ia lakukan sebelum ini

Ia ingat bahwa ia ingin mati.

"Nayla, Nayla tenang, kamu selamat sekarang. Alhamdulillah, sudah hampir seminggu kamu nggak sadarkan diri. Mama khawatir banget." Marnita, ibu kandung Nayla yang telah kembali dari Singapura berusaha untuk menenangkan.

Nayla melemparkan pandangan ke sekeliling ruangan. Ia sedang berada di rumah sakit dan mungkin di ruangan rawat inap. Namun, yang lebih jelasnya sekarang Nayla melihat Wartoni, Mariska, Marnita, Danu, serta Dion berada di sini.

"Iya Nayla, kamu selamat sekarang." Kali ini Danu yang bicara.

"Selamat?!" Tiba-tiba Nayla membentak. "Nayla mau mati, bukan mau hidup! Kalian pikir Nayla selamat? Nggak, ini ibarat neraka buat Nayla. Kembali hidup itu sama sekali bukan harapan Nayla. Nayla nggak minta hidup, Nayla mau mati!" Air mata Nayla turun seketika. Ia terlihat panik dan mencoba untuk menjauh dari orang-orang di sekelilingnya ini.

"Nayla, tenang!" Wartoni mencoba menenangkan.

Bukannya diam, Nayla justru memberontak, merengek, mendorong, dan membanting barang di sekeliling. Ia berteriak dan melepas segala perlengkapan kesehatan apapun di tubuhnya, membuat satu ruangan itu panik dan memanggil dokter. Tubuhnya terjatuh dari hospital bed, namun ia tetap meronta.

Nayla menggila.

"Nayla, tenang nak, tenang. Jangan begitu. Kamu udah——"

"Nayla mau mati Ma, Pak. Nayla nggak mau hidup. Kenapa Nayla harus hidup? Kenapa Nayla harus selamat? Harusnya Nayla udah mati," rengek Nayla penuh dengan nada memohon, terdengar pilu bersama suara seraknya. Rasa sakit dalam batin dan raga bersatu menciptakan rasa tersiksa yang sudah tak dapat digambarkan.

Nayla terlihat sangat memprihatinkan. Ia benar-benar kehilangan akalnya. Ia bahkan menangis dan meraung seperti orang kerasukan.

"Kenapa kalian semua baru pada dateng di saat kondisi Nayla sudah begini?" tanyanya dengan suara parau. "KENAPA?!" tanyanya lanjut berteriak keras, membuat seluruh orang di dalam ruangan itu khawatir.

Pandangan Nayla kabur, dipenuhi air mata. Tubuhnya sudah lelah bergerak dan kembali sakit. Hanya tinggal mulutnya yang dapat menyampaikan isi hatinya. "Kalian semua jahat! Waktu Nayla nyoba untuk bertahan hidup, kalian perlakuin Nayla kayak orang yang nggak berguna, dan lebih baik mati. Sekarang, giliran Nayla mau mati, malah dibiarkan hidup——"

Heiyo Nayl! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang