61 - Pendam Lagi! ✨

910 225 16
                                    

Ulangan kenaikan kelas telah berakhir seminggu yang lalu. Keadaan yang damai tanpa pembelajaran ini tiba-tiba terusik ketika Nayla yang baru saja keluar dari kelas langsung mendapat panggilan dari Bu Nursiah lagi.

Kali ini entah untuk membahas apa, yang jelas masalahnya dan Sarah sudah selesai. Mereka sudah saling memaafkan satu sama lain, walaupun hanya di depan guru dan tetap bermusuhan di depan mata.

Nayla ditarik ke ruang Bu Titi, ya ruang bimbingan konseling lagi. Ternyata panggilan kali ini bukan karena masalah lain di sekolah, melainkan masalah antara siswa dengan wali kelasnya. Baru saja Nayla melangkahkan kaki, ia sudah melihat Wartoni di sana.

Jantung Nayla berdegup tidak stabil.

Apa lagi?

Mengapa harus ayahnya lagi yang terlibat kali ini?

Nayla sudah sangat kapok bermasalah dengan ayahnya. Ia pun mendudukkan diri di sebelah ayahnya secara perlahan sambil menatap Bu Titi dengan tatapan bertanya.

"Ada apa ya bu?" tanya Nayla sembari menoleh ke arahnya yang menundukkan kepala tampak kecewa.

Wajah Bu Titi tak kalah kecewanya. "Sudah diadakan rapat kenaikan kelas. Saya dan guru-guru lain sudah berbincang cukup panjang. Sebelum itu, salah satu syarat kenaikan kelas yaitu 'tidak masuk ke ruangan bimbingan konseling lebih dari lima kali.'"

Ah, Nayla mengerti. Sudah berapa kali Nayla masuk ruangan ini dalam satu semester?

"Ya, kamu sudah masuk ke ruangan ini lebih dari sembilan kali sejak menginjakkan kaki sebagai siswa kelas sepuluh dan permasalahan yang terjadi memang seputar diri kamu. Bukan permasalahan selama menjadi anak di bawah bimbingan saya sebagai wali kelas," jelas Bu Titi. "Kamu juga sering menjadi keluhan guru dan siswa. Hampir semuanya, ini menyangkut perilaku. Kamu sudah empat belas hari tidak masuk. Masalah yang paling besar adalah masalah kabur dari rumah dan bertengkar dengan Sarah. Banyak sekali masalah yang terjadi pada kamu, Nayla."

Napas Nayla mendadak tidak stabil. "Jad-jadi maksud ibu, saya ...?"

"Iya, dengan berat hati saya mengatakan bahwa Nayla ... tidak dapat naik ke kelas sebelas."

Wartoni langsung memijat pangkal hidungnya, tak berkomentar apapun. Inilah yang membuat hati Nayla menjadi sakit seketika, melihat ayahnya kecewa untuk yang kesekian kalinya.

Sebisa mungkin Nayla menahan amarahnya, tangisnya, dan juga kekecewaan pada dirinya.

Gue udah nyoba untuk jadi anak baik dan ikut segala perintah!

Gue udah nyoba untuk nggak berontak.

Gue udah nyoba untuk berubah!

Nayla menghela napas. "Tapi nilai saya berapa bu?" tanyanya, sangat berusaha menstabilkan nada.

Wartoni masih memijat pangkal hidungnya dan menggelengkan kepala. Mungkin dalam hati, pria itu sedang beristighfar mendapatkan anak seperti Nayla.

"Nilai kamu lumayan, tapi saya tidak dapat menahan keputusan guru-guru yang mendukungmu untuk tidak dinaikkan ke kelas sebelas."

Jiwa Nayla terasa seperti tertusuk sebuah pedang. Ia terpaku di tempat. Tubuhnya bergetar dan berkeringat dingin. Lagi-lagi hal yang membuatnya ketakutan setengah mati terjadi.

Sekali lagi, di sebelah Wartoni.

Tak sanggup, Nayla membiarkan air matanya jatuh dari pelupuk. Ia menoleh ke Wartoni yang telah berani menatap Bu Titi. "Pak, maafin Nayla."

Wartoni tak melirik ke arahnya sama sekali. "Ibu memanggil saya ke sini karena ada satu syarat yang dapat dipenuhi agar anak saya bisa tetap naik ke kelas sebelas, 'kan?"

Pupil mata Nayla mengecil. Ia menggelengkan kepala, mengerti apa maksudnya. "Nggak usah pak, Nayla nggak pa-pa nggak naik kelas. Asal bapak-"

Lirikan sinis Wartoni mampu membuat Nayla terdiam, ketakutan.

Bu Titi menganggukkan kepala. "Iya benar, pak. Ada satu syarat." Ia membuka sebuah berkas di atas meja dan menyerahkannya ke Wartoni. "Silakan dibaca dulu. Untuk pembayaran, bisa dibayar di sini langsung."

"Ibu minta disogok pakai uang biar saya bisa naik kelas?" tanya Nayla, tak percaya. "Bukannya itu salah, bu?" Refleks, kepalanya menggeleng perlahan. Berkas dari genggaman Wartoni Nayla rebut. "Nggak usah pak, mending Nayla nggak usah naik kelas."

Wartoni merebut balik berkas dalam genggaman Nayla dan tanpa kata apapun ia langsung menandatanganinya. "Kamu lebih baik diam," katanya untuk Nayla.

Teguran dengan nada tajam itu membuat Nayla hanya mampu menutup wajah dengan telapak tangannya yang dingin.

* * * * *

Sampai ke rumah, Wartoni tidak berkata apapun ke Nayla. Ia selalu berjalan lebih cepat dan meninggalkan Nayla di belakang.

Nayla sendiri semakin merasa tidak enak ke ayahnya itu dan semakin merasa menyusahkan saja. Ia pun melangkah tepat ke sebelah ayahnya.

"Pak, seriusan tadi nggak pa-pa?"

Wartoni berhenti. "Kamu ini ngomong apa?"

"Masalah tadi. Demi Nayla, bapak sampai nyogok. Nayla tau uang bapak lagi meni-"

"Itu urusan bapak!" tegas Wartoni. "Beruntung kamu bisa dinaikkan ke kelas sebelas dengan cara kayak gitu. Syukuri aja. Tugas kamu sekarang belajar yang bener lagi! Jangan tau-taunya nyusahin aja. Kamu udah cukup ngebebanin bapak sampai puyeng banget di tahun ini." Wartoni lanjut melangkah masuk ke dalam rumah dengan membanting pintu, meninggalkan Nayla yang terdiam di tempat.

Maafin Nayla udah ngecewain bapak lagi, Nayla memang nyusahin, batin Nayla mengiakan ucapan ayahnya itu.

Ia memang beban dan secara tegas ayahnya mengucapkan itu.

Ayahnya!

Ayahnya mengatakan bahwa Nayla adalah beban secara langsung dan tegas. Siapa yang tidak sakit? Nayla memegangi dadanya yang sesak, seperti mendapat sebuah tebasan telak.

Kepada siapa lagi Nayla akan bercerita? Ya, Nayla akan memendamnya lagi sendiri.

"Nayla!" panggil Wartoni, "Masuk!"

Buru-buru Nayla masuk ke rumah. Ia melihat Wartoni yang berjalan masuk ke ruang tengah dan mengabaikannya. Nayla pun masuk ke kamarnya untuk menenangkan diri.

Ia harus memendam lebih banyak rasa sesak lagi.

= Heiyo Nayl! =

Heiyo Nayl! Where stories live. Discover now