Prolog

1.2K 61 14
                                    

Author's Note: Aloha XD Akhirnya author ngeluarin juga volume keduanya :D Meskipun keluar di hari Jumat malem, tapi author masih bakal nyari waktu yang tepat untuk mastiin kapan bakal update. Seminggu sekali sih dah pasti, kayak biasa. Mudah-mudahan bisa update lebih sering. Hehe. Langsung aja baca lanjutannya yuk~ Buat yang salah masuk, ini volume ke-2 yah. Volume pertamanya silakan cek di kumpulan karyaku yang Exolia judulnya :)

Oya, prolog kali ini cuma 1 part yah~

Pic note: Gambar di sini nyomot dari google aja :)

***

Dari dulu, aku sebenarnya benci cahaya.

Kedua orangtuaku memberi nama yang terlalu berat rasanya. Leonore, Anak Cahaya. Kemampuan Lumia-ku berkembang lambat hingga aku sering diolok-olok anak sepantaran. Satu-satunya cahaya hidup yang membantuku berjalan adalah Tuan Putri Ester dan ...

... siapa?

Seingatku ada seorang lagi. Dia lebih penakut dan pemalu jika dibandingkan dengan Tuan Putri Ester. Kebiasaannya menunduk bahkan lebih sering dariku. Tempat kesukaannya adalah sudut-sudut terpencil istana, gang-gang buntu di kota Loka, serta bayang-bayang di bawah pohon ek yang rimbun. Dia sering meringkuk, tapi rambutnya yang hitam mudah kutemukan. Karena dia tak kunjung menengadah, biasanya aku duduk menyandarkan punggungku pada punggungnya. Dia tak suka wajahnya dilihat, padahal aku suka mata hijaunya yang unik.

"Di bawah pohon itu memang enak, ya," gumamku sambil mendorong lembut punggungnya, berharap dia menjawabku. Tidak semudah itu memang.

"Tidakkah kaupikir Lumeprodia itu masih terlalu terang? Bahkan di malam hari pun selalu bersinar. Orang-orang memang suka, tapi bukankah langit malam jadi tidak bisa dinikmati? Apa mereka tak pernah bosan, ya?"

"Kata Ibunda," akhirnya dia menjawab, "orang-orang lebih memilih hidup di bawah kebosanan tapi aman, daripada mencoba sesuatu yang baru tapi banyak risikonya."

"Hmm ... Bagaimana denganmu?"

"Maksudnya?"

"Kau ingin terus di sini? Ayahku bilang, dunia luar itu ada, lho. Kautahu dinding hitam perbatasan kota, kan?"

"Ayahanda bilang tempat itu berbahaya. Kita tidak boleh menyentuh ataupun mendekatinya."

"Jadi kau mau terus berada di sini?"

Dia lagi-lagi membisu.

Aku merangkak ke depannya. Rupanya dia tak lagi menenggelamkan wajah di balik lututnya sehingga dia tampak terkejut melihatku.

"Apa yang kaulakukan?"

Tanpa peduli, aku tersenyum lebar sambil mengajaknya, "Suatu hari, ayo coba kita keluar dari sini."

Itu omongan anak-anak yang sudah lama kupendam lebih dari sepuluh tahun.

Ayahku dan teman-temannya begitu bersemangat mencari jalan menembus dinding hitam perbatasan kerajaan hingga lupa betapa berisikonya hal tersebut. Kesatria Lumia yang menemani mereka mati setelah berhadapan dengan banyaknya Droxa yang keluar dari dinding. 

Bisakah kaubayangkan?

Seluruh permukaan dinding hitam yang bergeming mengelilingi Exolia adalah kumpulan Droxa yang tertidur. Entah bagaimana caranya, mereka hanya akan bangun jika ada yang mendekat dengan maksud ingin menembus wilayah itu.

Ayahku bersikeras melewati, bahkan setelah banyaknya korban berjatuhan. Yang Mulia Raja yang tadinya setuju sudah melarang atas pengaruh banyaknya protes warga. Mungkin karena muak dengan orang-orang yang menyalahkan, Ayah pernah balik marah. Bahkan belakangan, aku sendiri ngeri melihat ekspresinya yang sudah seperti orang gila.

Tak lama setelahnya, Ayah tewas tertusuk bilah-bilah hitam di halaman rumah kami. Umurku sembilan waktu itu.

Sampai sekarang, aku masih benci Eoden.

Onogoro (Trace of A Shadow #2) [COMPLETED]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora