Chie (Part II)

233 40 5
                                    

"Kupikir orang Tokyo lebih dingin lagi."

"Yah, aku sudah pernah keluar." Chie menuntun si nenek ke tempat pembelian tiket masuk. "Kalau sudah keluar dan bertemu orang-orang berbudaya lain, tinggal di antara mereka, otomatis kita punya insting untuk menyesuaikan diri. Tentu aku membawa kebiasaanku di sana kemari."

"Hoo ... Jadi kau sekolah di luar negeri?"

Chie menunda jawaban ketika mereka membeli tiket. "Singapura," kata Chie begitu mendekati gerbang masuk pertama. Mereka melangkah hati-hati. Bau belerang—yang seperti telur busuk—makin tercium, meski tipis karena angin terlalu kencang membawa bau-bau itu.

"Membantu orang tua itu budaya sana?"

Chie tertawa kecil. "Tidak. Singapura mirip sini. Ramah pada orang itu budaya negara lain yang tak jauh dari sana. Aku pernah liburan ke negara itu ketika liburan, mengunjungi teman."

"Hoo ...."

Gerbang kedua membentang cukup jauh—kira-kira lima meter lebih—dari tempat mereka berdiri. Dengan jalan si nenek yang lambat, Chie tak bisa bergerak cepat.

"Ada yang kaukhawatirkan?" tanya si nenek.

Chie hanya diam. Dia bingung harus menjelaskan apa.

"Dari sejak di bus, sudah kuperhatikan. Kau bukan datang ke sini untuk menemui roh, tapi ada yang ingin buru-buru kaulakukan. Menemui orang?"

"Kakakku." Chie berhenti bicara sesaat. "Sudah lama aku tidak bertemu dengannya."

"Maksudmu ... masih hidup?"

Chie mengangguk. "Aku memang tidak datang untuk bicara dengan roh."

"Bukankah seharusnya kau senang? Kalau aku bisa bertemu lagi dengan anak-anak dan suamiku dalam keadaan hidup, aku pasti senang."

Chie tersenyum sambil mengembuskan napas pelan. "Aku cuma ... tidak tahu apa dia benar-benar Kakak atau tidak. Bahkan aku tidak tahu apa dia masih di sana. Rasanya, dia bisa menghilang begitu saja kalau aku tidak buru-buru menemuinya."

"Hoo ... Hubungan kalian baik, ya. Kakakmu beruntung punya adik sebaik dirimu."

"Begitukah? Terakhir kali aku melihatnya, dia ... membenciku."

"Kakakmu bilang begitu?"

Chie menggeleng. "Aku cuma ... tahu."

"Bagaimana bisa tahu kalau dia tidak bicara?"

"Gampang. Dari sifat dan tindak-tanduknya. Sudah lama tinggal dengannya, mana mungkin tidak tahu."

"Tapi katanya sudah lama tidak bertemu."

Chie membisu. Dia tahu apa maksud si nenek. Orang bisa berubah, apalagi setelah keluar dari tempat sempit bernama rumah, sekolah, kota, dan negara sendiri. Chie pun begitu. Dia bukan lagi anak yang bisa mengabaikan perasaan sekeliling, hanya karena merasa dirinya pantas disayangi. Dia jadi lebih memikirkan kata-kata sebelum mengucapkannya. Dia jadi tahu perasaan Satsu yang dibedakan oleh orangtua mereka karena Chie selalu juara satu, sementara Satsu tidak.

Justru karena semakin paham, Chie takut.

Sebuah tepukan pelan mendorong punggung Chie. Dia terkejut dan menoleh ke belakang. Si nenek tersenyum ke arahnya.

"Kalau memang sudah lama tak bertemu, kau harus cepat-cepat menemuinya, kan? Lebih baik dibenci daripada diabaikan ataupun dilupakan. Setelah sendirian bertahun-tahun, aku yang paling paham. Senegatif apa pun itu, interaksi akan membuatmu lebih hidup, membuat hidupmu lebih berarti."

Chie mendengarkan kata demi kata dengan saksama. Kata-kata itu mungkin terkesan menasihati untuk kebanyakan orang, tapi tidak baginya. Dia butuh semangat itu. Chie mengisap udara sebanyak-banyaknya sebelum mengembangkan senyum lebar.

Onogoro (Trace of A Shadow #2) [COMPLETED]Where stories live. Discover now