Keraguan (Part II)

160 29 9
                                    

"Oh, ini dingin sekali." Gigi Putri Ester bergemeletuk. Dia memeluk dirinya sendiri yang gemetaran, sesekali mengusap-usap lengan.

Setelah gagal menghubungi Putri Hilderose kembali, Satsu berkonsentrasi menjaga Putri Ester. Dia berjalan mengawasi di belakangnya, sementara Chie berada paling depan. Satsu melepas tawa tanpa suara saat dia ingat ocehan sang putri soal celana panjang dan jaket. Sudah seperti cowok saja, katanya. Chie sempat menawarkan rok mini, tapi Putri Ester menolak. Selain karena dingin, Satsu tahu. Putri tunggal Exolia tak mungkin mau menunjukkan paha dan betis.

Putri Ester melirik ke belakang, tepat saat Satsu menyunggingkan senyum. Pemuda itu langsung meluruskan bibir sambil menaikkan syal menutupi mulut.

"Apa yang kautertawakan?"

Satsu menggeleng. Dia menunduk saat Putri Ester mendekati.

"Ini sepertinya hangat. Pinjam!" Putri Ester mengambil syal Satsu dengan paksa sampai si pemuda terhuyung maju dan harus berpegangan pada gadis itu. Tentu saja dia langsung menjauh sebelum sang putri mendorongnya. Entah karena dingin atau memang kecelakaan kecil ini, wajah Putri Ester sedikit memerah. Dia segera menutupi wajah dengan syal hitam Satsu. "Y-yang penting lebih hangat! Dan ingat!" Putri Ester menunjuk tepat di depan hidung Satsu. "Jangan pikir aku mau berteman denganmu atau hal apa pun itu yang baik-baik. Membantuku adalah tanggung jawabmu. Tidak lebih dari itu. Paham?"

Satsu mengembuskan napas pelan sebelum mengangguk mengiyakan. Melihat Putri Ester kembali berjalan memasuki pintu otomatis stasiun—yang mana membuat sang putri mengangakan mulut dan keluar-masuk demi memastikan kerja pintu itu—Satsu menepuk kedua pipinya sendiri. Dia harus melindungi sang putri dan kembali bersamanya ke Exolia. Itu tugas barunya. Selain itu, dia juga bisa memastikan keadaan Tuan Meyr dan Putri Hilderose kalau berhasil sampai ke sana. Namun, entah kenapa dadanya seolah diremas kuat. Putri Ester keluar lagi dengan senyum seperti anak kecil, tapi kemudian kembali cemberut saat melihat Satsu.

Si pemuda menghela napas lagi.

Tidak ada orang lain yang menaiki kereta siang itu dari Stasiun Shimokita, kecuali ketiga orang yang ingin pergi ke Tokyo ini. Putri Ester terlonjak mundur saat kereta melewatinya. Satsu dengan sigap menjaga, menaruh tangan di belakang punggungnya. Putri Ester langsung menjauh dan masuk mengikuti Chie ke dalam. Tentu, kursi di dalam pun diisi hanya mereka bertiga.

"Densya?" tanya Putri Ester.

Chie merentangkan tangan mengisyaratkan bahwa seluruh kereta itu disebut "densha". Satsu menuliskannya di kertas sebagai konfirmasi. "Kalau di Exolia ada kereta kuda, Jepang punya Densha."

"Tapi aku tidak melihat kuda dan ini panjang sekali." Putri Ester melongok kiri-kanan gerbong. Beberapa orang terlihat di sana.

"Tenaga penggeraknya bukan kuda, tapi yah ... anggap saja sihir? Hujan di Exolia juga punya petir, 'kan? Nah, tenaga Densha itu petir."

Putri Ester membuka mulut lebar-lebar. "Kukira petir itu bisa membunuh orang."

"Yah, tergantung penggunaannya, 'kan?"

Melihat tulisan itu, Putri Ester terdiam sesaat. Dia ingat, sihir Lumia juga telah membunuh ayahnya, padahal biasanya sihir cahaya itu membantu orang-orang Exolia melindungi diri, menerangi, dan bahkan menyembuhkan. Bibir sang putri tiba-tiba gemetaran. "Kalau saja aku bisa menggunakan sihir Lumia dengan lebih baik, apa bisa mencegah kematian Ayah?"

Satsu mengernyitkan alis. Tak disangkanya, omongan soal petir itu malah membangkitkan kenangan buruk sang putri. Apa yang harus dikatakannya sekarang?

Pemuda itu meragu, tapi kemudian tetap menulis. "Kematian raja tidak ada hubungannya dengan sihir Lumia ataupun kemampuanmu, karena apa pun yang terjadi, aku pasti akan menyebabkan kematiannya."

Keraguan adalah istilah yang cocok untuk menggambarkan betapa canggungnya sang putri dan Satsu bergerak, juga saling menatap. Satsu yang pertama kali mengalihkan pandangan. Bukankah wajar kalau pria tidak kuat melihat seorang wanita sedih? Ya, itu juga yang pasti menyebabkan nyeri di dadanya tidak pernah hilang, juga rasa bersalah itu.

"Kenapa kau ingin sekali melukai dirimu sendiri?"

Pertanyaan Putri Ester sama sekali tak diduganya. Mereka kembali saling menatap, tanpa suara, seolah dunia berhenti bergerak selama beberapa detik.

Pintu kereta terbuka. Satsu kembali mengalihkan tatapan ketika orang-orang mulai masuk, begitu pula Putri Ester. Gadis itu sibuk merapikan rambutnya yang bergelombang. Wanita di depan memperhatikan sang putri, tapi segera menunduk. Orang-orang lain pun begitu. Meski ada ketertarikan terhadap orang asing, mereka tidak terlalu menunjukkannya. Entah mengapa, Putri Ester malah ingat perilaku Satsu yang suka menunduk. Mungkin, memang orang-orang sini punya kebiasaan seperti itu. Lagi pula, mereka juga jarang bicara. Dalam kereta sungguh sepi, hanya diisi bunyi benturan roda kereta dengan rel. Sering menunduk dan tidak bicara? Benar-benar mirip Satsu.

"Hei," panggil Putri Ester. "Kaubilang akan menjelaskan semuanya di sini, 'kan? Karena perjalanan kita masih jauh."

Satsu mengangguk. Dia meminta kertas lagi kepada Chie yang sempat tertidur, lalu menuliskan beberapa hal, dimulai dari Pangeran Alvaron yang merencanakan pertunangan, hingga gerbang Eoden.

"Aku juga ingin tahu tentang tempat ini dan bagaimana kau bisa datang ke Exolia."

Untuk hal itu, Satsu menelan ludah. Dia memikirkan baik-baik apa saja yang harus dikatakan dan tidak dikatakannya. Dia memilih untuk mengganti kejadian pemukulan oleh Shinohara dengan kecelakaan. Bukankah di cerita-cerita kebanyakan juga biasanya tertabrak truk? Bagian-bagian lain diceritakannya dengan jujur. Semuanya memakan waktu hampir dua jam, karena sang putri terus menanyakan hal-hal detail. Setelahnya, Chie membagi Onigiri—nasi kepal—isi ayam yang sudah disiapkannya terlebih dahulu sebelum naik kereta. Dia yang paling tahu, akan makan waktu empat jam lebih untuk sampai stasiun Tokyo.

Stasiun itu jauh lebih ramai sehingga Satsu harus memegangi tangan sang putri agar tak terpisah, mau tak mau. Untungnya masih jam empat, tempat duduk masih tersedia. Stasiun Hachioji adalah yang terakhir di jalur itu, jadi perjalanannya masih butuh waktu sekitar dua jam. Putri Ester dan Chie kembali melanjutkan tidur, sementara Satsu tidak bisa menutup mata.

Pemuda itu terus mengamati papan jalur di atas pintu kereta dan tulisan stasiun yang mereka lewati. Semakin dekat Hachioji, semakin dia ingat orangtuanya. Bagaimana kabar mereka? Apa yang akan mereka lakukan saat dia pulang nanti?

Yang terpenting, apa yang akan Satsu katakan untuk menjelaskan kondisinya? Atau mungkin, Chie sudah memberi tahu?

Pertanyaan demi pertanyaan memenuhi benak Satsu hingga tanpa sadar, tinggal empat stasiun lagi menuju Hachioji. Orang-orang di sekitar sudah tidak ada. Belum jam pulang. Satsu hendak membangunkan Chie ketika tiba-tiba beberapa orang masuk dari stasiun itu sambil tertawa dan mengobrol kencang.

Jantung Satsu serasa berhenti berdetak.

Dia sangat kenal suara pria yang baru masuk itu.

******

Author's Note: Siap-siap drama :v Eniwei, jangan lupa vote dan/atau komen untuk dukung author, kasih krisar, atau kalau kalian suka dengan ceritanya ya :D

Onogoro (Trace of A Shadow #2) [COMPLETED]Where stories live. Discover now