Komunikasi (Part II)

173 27 1
                                    

“Tunggu!” Leonore mendorong pelan tubuh Putri Hilderose, melepaskannya dari pelukan. Dia menghampiri Tuan Meyr, lalu membelakanginya, merentangkan tangan di depannya. “Aku akan menangani ini dan membawa mereka menghadap Tuan Pangeran Alvaron. Kalian punya tugas lain untuk membantu pertahanan. Droxa sedang menyerang.”

“Kami tidak mendengar satu perintah pun dari Tuan Pangeran mengenai hal itu,” bantah salah satu penjaga. “Kami diperintahkan untuk menjaga dan mengawasi kalian. Jika ada yang mencurigakan, kami diperbolehkan untuk melakukan penyerangan.” Dia mempererat genggaman pada pedang hitamnya, mengacungkannya ke Leonore.

Tuan Meyr hendak maju, tapi Leonore kembali menghalangi. “Kalian bisa mengawasi kami. Kami akan diam.”

“Apa yang kaulakukan, Leonore?” Geram bercampur dalam pertanyaan Tuan Meyr.

Leonore memelankan suara. “Jika kita ingin mengembalikan Tuan Putri Ester kemari, kita harus bekerja sama dengan orang-orang ini. Anda sudah tahu, bukan? Melawan tidak ada untungnya.”

“Alvaron adalah orang yang membunuh rajamu!”

“Dan Anda adalah orang yang membunuh ayahku, bukan?!”

Tuan Meyr membulatkan mata tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Dia mematung.

Leonore tak melewatkan ekspresi keterkejutan itu. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Apa yang dikatakan Pangeran Alvaron rupanya benar. Orang-orang yang disebut Shadow itu sudah memperlihatkan jurus-jurus mematikan yang serupa dengan senjata pembunuh ayahnya, dan jumlah mereka tidaklah banyak. Satsu, Ally, lalu ….

“Jadi, kau sekarang mau memusuhiku?” Tuan Meyr mundur perlahan, ekspresinya berubah dingin.

“Aku ….” Leonore tidak bisa meneruskan kata-kata. Tangannya mulai memegang tengkuk dan mencakar. Pemuda itu mengeritkan gigi sambil menunduk. Apa yang sebenarnya dia harapkan dari membeberkan hal itu sekarang?! Dasar bodoh! kecamnya dalam hati.

Tanpa menunggu balasan lebih jauh, Tuan Meyr kembali membopong Putri Hilderose dan lari.

Ally mengangakan mulut. Leonore pun tertegun dan belum siap mengambil tindakan.

Si gadis Shadow yang duluan bergerak. Dia berdecak. “Cepat kejar, bodoh!” katanya sambil terjun ke dalam Wilayah Bayangan.

Leonore menyusul mereka, meninggalkan para pasukan yang mematung bingung. Salah satu prajurit memerintahkan pembagian tugas penjagaan; enam orang yang mengejar para tawanan.

Di tengah pengejaran, Leonore mengingat pesan Ally saat mereka bergegas menuju istana.

“Aku tidak akan bisa menyerang Lucian karena dia Pemegang Kontrakku saat ini. Yang bisa kulakukan hanyalah menolak menuruti perintahnya, seandainya dia memerintahkanku untuk melukaimu. Itu pun, aku yang akan sakit.” Kalimat terakhirnya hanya berbentuk gumaman, sehingga Leonore harus menanyainya lagi. “Ah, tidak. Abaikan kata-kataku yang terakhir.”

Memang, Leonore tidak perlu menghiraukan kalimat terakhir, tapi penjelasan Kontrak dan Pemegang Kontrak itu penting baginya.

Dia belum tahu.

Siapa yang memerintahkan pembunuhan ayahnya dulu?

Laju lari Tuan Meyr sama kencangnya dengan Leonore, meskipun pemuda itu tidak membawa apa-apa. Leonore menggeram kesal, kemudian merapal, “Lume—”

Kata-kata Leonore terputus oleh Tuan Meyr yang tiba-tiba terjungkal, melemparkan Putri Hilderose jatuh berguling-guling ke depan. Tangan Ally rupanya memegangi kaki Tuan Meyr dari bawah, memaksanya berhenti.

Ally menyeringai di Wilayah Bayangan. “Aku memang tidak bisa menyerang, tapi aku bisa melakukan ini.”

“Cih!” Tuan Meyr mengeluarkan belati dari sarung di pinggang belakang, lalu menusuk tangan Ally.

Ally sontak berteriak dan meregangkan jari-jari. Kaki Tuan Meyr terlepas.

Namun, ketika Tuan Meyr mendekati Putri Hilderose, sang putri sudah berdiri terengah-engah dengan wajah kecewa. “Jangan lari terus, Ayahanda! Bukan ini jalan keluarnya!”

Leonore berhenti tak jauh dari Tuan Meyr. Entah kenapa, dia memutuskan untuk membiarkan Putri Hilderose yang meyakinkan ayahnya.

“Ini semua mungkin salahku juga karena aku tidak menceritakan semuanya,” lanjut Putri Hilderose. “Aku berusaha berpikir dan melakukannya dengan caraku sendiri. Aku tidak membicarakannya dengan Ayahanda, Leon, maupun Ester. Padahal jika itu kulakukan, semua mungkin akan lebih baik. Tidakkah Ayahanda sadar? Kita harus bicara dengan Leon dan Alvaron.”

“Bicara?” Tuan Meyr mendengus. “Kaupikir, apa yang kulakukan di luar sana? Di antara para Droxa itu? Aku bertarung.” Pria itu menunjuk dadanya sendiri. “Aku mati-matian bertahan hidup demi kalian, di tengah musuh yang tak bisa kuajak bicara. Kaupikir kau bisa bicara dengan Droxa?”

“Jangan samakan Leon dengan Droxa.”

Tuan Meyr menarik napas dalam-dalam, kedua tangannya menyatu di depan hidung. “Kaupikir, Alvaron juga memakai cara itu? Bicara?”

“Dia setidaknya memberi kesempatan kepada Ester untuk menerima atau tidak.”

“Tanpa menjelaskan duduk permasalahannya.”

Putri Hilderose terdiam sesaat. “Ayahanda sendiri tahu, bukan? Gerbang Eoden tidak pernah terbuka selama seratus tahun terakhir. Pangeran Alvaron juga tidak yakin benar akan cara itu, tapi dia harus melakukannya demi negara.”

Tuan Meyr mengangguk-angguk, kemudian berbalik dan menatap tajam ke arah Leonore. “Ya, dan aku juga melakukan ini demi putriku.”

Leonore berdeham. Dikonfrontasi tiba-tiba membuatnya sedikit canggung. “Kita bisa bicarakan ini baik-baik, Tuan Meyr. Aku juga bisa membicarakannya lagi dengan Pangeran Alvaron. Belakangan ini kami sering berdiskusi.”

“Apa dia juga yang memberitahumu soal kematian ayahmu?”

Leonore membuka mulut, hendak mengiyakan, tapi dia mengurungkan niat dan menutup mulutnya lagi. Setelah beberapa saat, barulah dia menjawab, “Aku sudah hidup selama sebulan ini dengan menahan diriku menghadapi pembunuh rajaku, Tuan Meyr. Kurasa, aku masih bisa menahan diri lebih jauh lagi. Aku juga belum tahu siapa yang memerintah Anda untuk membunuh Beliau. Lagi pula,”—dada Leonore mengembang saat dia mengambil napas banyak-banyak, lalu mengembuskannya lagi—“aku masih menunggu konfirmasi Anda mengenai hal itu. Aku tidak mudah percaya perkataan orang lain.”

Penjelasan Leonore yang tenang dan berlogika, membuat kesigapan Tuan Meyr melemah. Posturnya tidak lagi tegap, melainkan sedikit membungkuk. Pisau dimasukkannya kembali ke sarung.

Para prajurit mendekati area. Lirikan Tuan Meyr mengundang Leonore untuk ikut menoleh. Mudah-mudahan masalah ini sudah selesai, harap si pemuda.

Di situlah, Tuan Meyr tiba-tiba saja tersentak, terdorong. Dia menapakkan kaki kiri ke depan dengan gontai. Aneh, sungguh aneh. Tubuhnya tiba-tiba melemas. Perutnya bergejolak mendorong sesuatu ke atas, sampai ke mulut, lalu memuntahkannya.

Asap hitam.

Luka.

Ketika Tuan Meyr meneruskan pandangan ke bawah, bilah hitam yang menusuk dadanya ditarik. Tuan Meyr mengerang sambil memejamkan mata. Asap hitam yang terbatukkan keluar makin banyak, seiring dia jatuh berlutut. Tangan kanannya menapak pada bebatuan, sementara yang kiri memegangi luka yang perlahan diobati.

“Well, well, well, rupanya sasaranku masih cukup tepat. Aku sudah susah-payah menghindari jantungmu.”

Tuan Meyr membelalakkan mata mendengar suara itu. Dia menoleh. Di belakang Putri Hilderose yang juga terkejut, sesosok pria berjalan mendekati mereka.

“Mustahil,” gumam Tuan Meyr. “Kau ...?!"

*****

Author's Note: Hayo, siapa coba? :) Btw, tadi sempet ada masalah teknis, jadi gak bisa buka Wattpad di web. Jadi agak telat update yang ini. Jangan lupa tinggalin vomment untuk dukung author atau kalo ingin kasih kesan pesan. Kenal2an lebih baik daripada ada yang gak disuka tapi diam kan ^^ Ingat judul kali ini. Komunikasi. Eheheh.

Onogoro (Trace of A Shadow #2) [COMPLETED]Where stories live. Discover now