Hubungan (Part I)

225 39 5
                                    

Author's Note: Akhirnya, event nano dan Comic Fest telah berakhir, author dah bisa kembali update meskipun baru habis pulang event :'D Rencananya setelah ini author akan lebih fokus ke Trace dan 1 karya lagi, meskipun memang tentu masih ada kerjaan sambilan. Mudah-mudahan, kerja keras author akan terbayar lebih cepat :') Eniwei buswei, sori kalau ada sedikit turun kualitas, berhubung yah sudah agak lama hiatus ini. Moga-moga masih bisa menikmati, karena biar bagaimanapun, tetap dibuat sepenuh hati :)

Pic Note: Nyomot dari Google aja itu yah. Satsu dan Chie itu emg dah kayak Hichigaya family, pake ada rambut di atas kepala segala. Wkwkwk.

Prev Chap: Chie Otomu mengunjungi kuil Osorezan setelah mendapat kabar bahwa kakaknya telah ditemukan di sana. Gadis itu cukup takut karena hubungan mereka sebelumnya tidak bisa dibilang terlalu baik. Namun, begitu menemukan Satsu, kakaknya itu, dia menamparnya karena Satsu tengah mencoba melukai dirinya sendiri.

******

Satsu memang bodoh.

Dia bahkan butuh orang lain untuk menghantamkan kebenaran itu pada dirinya. Secara otomatis, bibir Satsu melebarkan senyum melawan denyut di pipi yang tertampar.

Chie tersentak, seluruh tubuhnya mematung untuk beberapa detik hingga Satsu membetulkan posisi duduk dan mengusap-usap pipi. Perlahan, gadis itu menurunkan tangan. Satu tahun perpisahan menyebabkan dia bahkan tidak mengenali sifat kakaknya saat ini? Atau mungkin dia benar-benar salah orang?

"Kak ... Satsu, 'kan?" Pertanyaan itu meluncur lebih mulus dari yang Chie duga.

Satsu melirik gadis berambut hitam yang masih berdiri melongo. Ternyata yang bodoh bukan cuma aku, pikir Satsu sambil mengalihkan pandangan pada selimut yang acak-acakan di atas paha. Dengan menekankan telapak tangan kiri pada futon, Satsu mendorong tubuhnya bangun. Dia berdiri tegap, sejenak menyipitkan mata memandang Chie yang mundur selangkah.

Chie pun memosisikan kedua tangan di depan dada, bersiaga jikalau ternyata itu orang asing. Celaka tiga belas! Chie membelalakkan mata dan buka mulut. Bukannya malah gawat kalau yang dia pukul adalah orang asing?!

"Tapi aku tidak akan minta maaf! Soalnya kau tadi mau melakukan sesuatu yang bodoh, 'kan?!"

Satsu tetap maju. Mempersiapkan diri akan balasan, Chie memejamkan mata.

Helaian rambut Chie yang melancip ke atas malah ditarik-tarik.

"Aww! Aww!" pekiknya. "Itu charming point-ku! Jangan dirusak!" Gadis itu berusaha menangkap tangan yang masih menyiksa kepalanya, tapi jari-jari itu lebih gesit menghindar. Chie melirik pemuda yang lebih tinggi darinya itu sambil memonyongkan mulut.

"Dasar Kakak kejam!"

Chie melompat hendak mengambil helaian rambut Satsu yang juga mencuat di puncak kepalanya, tapi Satsu malah menepak kepala Chie hingga dia mengaduh. Chie merengut.

Tanpa peduli, Satsu menengadahkan tangan ke hadapan Chie. Melihat gadis itu tercenung, Satsu mengangakan mulut, menunjuk ke arah situ, lalu mengibas-ngibaskan tangan sambil menggeleng.

"Oh!" Chie menaikkan alis, berhenti merengut. Dia langsung mengaduk-aduk isi tas dan mengeluarkan sebuah smartphone hitam. "Lebih praktis menggunakan HP daripada kertas dan pensil, 'kan?"

Itu smartphone Satsu. Salah satu hal yang langsung terpikirkan olehnya adalah Ally yang dulu salah kira gestur Satsu sebagai orang mau makan. Untuk itu, dia bersyukur adiknya lebih pintar.

Tapi Satsu tidak menduga Chie setanggap ini.

Ketika Satsu menerima ponsel dan menyalakan tombol aktivasi, dia menerka-nerka. Bagaimana mungkin Chie bisa mempersiapkan ponselnya sebagai alat komunikasi bagi dirinya yang bisu? Lebih dari itu, Satsu juga tidak tahu mengapa Chie bisa ada di sini, seolah sudah tahu bahwa Satsu ada di sana.

Pemuda itu menatap Chie tajam, berusaha memperkirakan apa yang sedang dipikirkan adiknya. Namun, saat pandangan mereka bersibobok, Satsu hanya menemukan gadis yang menatap heran sambil menelengkan kepala, seolah sama-sama ingin tahu apa yang sedang dipikirkan lawan bicaranya.

Embusan napas pelan keluar dari mulut Satsu. Dia duduk lagi. Chie menengok kanan-kiri, lalu membawa jok putih di pojok ruangan ke samping futon Satsu. Dia berlutut di sana.

Butuh satu menit untuk ponsel itu benar-benar berfungsi. Satsu menekan aplikasi catatan dan mulai mengetik. Dia menunjukkannya kepada Chie setiap kali selesai.

"Bagaimana kaubisa tahu kalau aku ada di sini?"

"Seseorang meneleponku. Kakak tahu Itako?"

Satsu menggeleng.

"Mungkin Kakak tidak percaya—ah, tapi dengan kondisi Kakak sekarang mungkin mudah-mudah saja percaya—Itako itu semacam cenayang, orang yang bisa berbicara dengan para roh dan dewa." Chie memberi jeda dalam penjelasannya dengan tarikan napas panjang. "Chie pernah menghubungi salah satu Itako terakhir sekitar sini untuk siapa tahu ... menemukan Kakak." Dia memelintir helaian rambut atasnya sembari melihat ke samping, tampak tak nyaman.

Satsu mengerti. Chie pasti tak nyaman karena sempat mengira Satsu sudah mati ... atau semacamnya. Yang jelas, Satsu lebih tertarik hal lain. Dia mengetik lagi. "Aku baru tahu kalau kau percaya hal-hal gaib."

"Memang tidak, kalau saja Chie tidak berbicara dengan Hilde."

Smartphone Satsu jatuh menimbulkan bunyi pluk di atas kasur. Pemuda itu terbelalak dengan mulut mengatup rapat. Wajahnya seolah sudah menuliskan pertanyaan di otak: "Bagaimana bisa?!"

"Chie terus mencari Kakak. Setelah seminggu Kakak menghilang, Ayah dan Ibu menghubungi Chie dan Chie harus kembali ke Jepang secepatnya, meminta izin pihak sekolah untuk mengambil liburan selama sebulan. Kakak tahu sendiri orangtua kita. Ayah mengira Kakak pasti kabur entah ke mana, Ibu juga bingung harus mencari Kakak ke mana. Makanya, Chie mencari kasus-kasus yang mirip Kakak sampai menemukan nomor itu."

Sambil mengernyitkan alis, Satsu mengambil ponselnya yang terjatuh tadi, tapi dia masih diam mendengarkan.

"William Blake." Chie mengerjap satu kali. "Orang Inggris yang kuliah di sini dan menghilang sekitar empat tahun yang lalu, tepat setahun setelah dia masuk. Chie sudah mencari-cari banyak kasus hilang dan gosip-gosip *kamikakushi, tapi dari sekian banyak gosip, yang bisa dihubungi hanya nomor itu. Untung saja salah satu temannya masih ada yang melanjutkan kuliah di sini."

Chie mengeluarkan smartphone-nya sendiri dari dalam tas. Dia tercenung mengamati benda kecil di tangannya itu. Setelah penjelasan panjang, dia terdiam, mengingat apa saja usaha-usaha yang telah dilakukannya demi menggapai Satsu. Kemungkinan tidak wajar seperti roh, dewa, atau apa pun itu dia ambil, dan dia tak pernah menyesal. Chie mempererat genggamannya pada ponsel, lalu tersenyum tipis. Dia berhasil.

Satsu yang mengamati dan mendengarkan semenjak tadi pun merasa bangga. Dia belum tahu kenapa dadanya begitu tenang dan hangat mendengarkan usaha Chie. Satsu tahu itu tidak mudah. Seberapa pun geniusnya Chie, hal yang paling mengesankan dari usaha itu adalah niatnya. Satsu mengulurkan tangan ke kepala Chie, tapi kali ini untuk mengusap-usapnya pelan. Chie sedikit tersentak, tapi kehangatan dalam dada Satsu tersalur lewat sentuhan itu, menghangatkan juga perasaan Chie yang sempat khawatir. Gadis itu cengar-cengir. Chie rasanya bisa percaya dewa hanya karena satu kejadian berharga ini.

Begitu pun Satsu. Baru kali ini dia merasa tidak bermusuhan dengan kenyataan.

******

Footnote:

*Kamikakushi: Peristiwa menghilangnya seseorang secara misterius, dipercaya karena dewa yang membawa mereka pergi.

Onogoro (Trace of A Shadow #2) [COMPLETED]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon