Janji Di Antara Mereka (Part I)

168 28 2
                                    

Author's Note: Oke, sudah author putuskan kalau Trace akan update antara Minggu atau Rabu ya, mulai hari ini. Dan episode kali ini lumayan menggambarkan apa yang author ingin sampaikan belakangan ini. Selamat membaca~

Prev Chap: Satsu berhasil mengalahkan Nebi dan bertemu dengan si kembar penjaga dunia bawah, Mezu dan Gozu. Setelah disembuhkan, Satsu kembali ke dunia atas untuk meminta maaf kepada orangtuanya.

******

Leonore menyandarkan kepalanya pada dinding bebatuan tak nyaman ketika dia duduk bersila di dalam penjara, lagi-lagi. "Kupikir kita akan diberi ranjang kali ini."

Tidak ada balasan dari celetukan itu.

Si pemuda melirik ke kanan, di mana Tuan Meyr duduk dengan lutut kanan terangkat, tangan kanan terpangku di atasnya. Satu bulan lebih berlalu semenjak pembantaian itu. Bila dibandingkan dengan pria yang dapat bercanda santai bersama Raja Herberth dulu, yang ini benar-benar kontras dan tak dapat dipanggil Tuan Meyr. Atau mungkin, Tuan Meyr rasanya sudah lebih tua sepuluh tahun. Uban-uban tampak lebih jelas di rambutnya yang kini menjuntai turun seperti pengemis. Jenggotnya pun lebat tak tercukur. Jumlah keriput yang sebenarnya masih sama, tampak lebih jelas di wajahnya yang kusam. Kedua mata Tuan Meyr terarah kosong pada lantai bebatuan penjara.

"Tak usah mengajakku bicara terus!"

Bentakan cempreng seorang gadis menyentak perhatian Leonore. Suara itu berasal dari penjara sebelah. Beberapa gerutu menyambung bentakan dalam suara-suara kecil yang tercampur gema. Entah kenapa Leonore tersenyum membayangkan keadaan Putri Hilderose dan Ally di sana.

"Tampaknya kalian juga tidak akur!" Leonore mengencangkan suaranya sendiri.

Ada yang membalas. Karena terlalu kecil dan bercampur gema, Leonore meminta si lawan bicara mengulang perkataannya lagi.

Seseorang menendang pintu jeruji sebelah, menimbulkan dentang keras. Itu Ally. Dia memegang salah satu tiang jeruji dengan mata mendelik marah, mengarahkannya ke samping, seolah pelototan itu bisa mencapai tempat Leonore. "Kau tak berhak bicara, Bocah! Kalau bukan gara-gara kau, kita tidak akan di sini! Bergabung dengan Alvaron jidatmu! Kau tidak lihat bagaimana ibunya melihatku dengan pandangan jijik?! Kalau bisa kuludahi, sudah kuhujani dia!"

Penjaga yang mendengar tentu meneriaki Ally dari ujung koridor tahanan, "Jaga ucapanmu! Atau hukumanmu akan kami tambah atas tuduhan penghinaan kepada keluarga raja!"

Ally malah memelotot lebih lebar, menempelkan pipinya ke tiang besi seolah ingin keluar dari celah-celah jeruji. "Hah? Sini datang kalau berani. Akan kubisikkan beribu kali tepat di telingamu sebelum aku menghancurkanmu."

"Apa?" balas si penjaga.

"Dari batang lemas di antara kedua kakimu itu, ya!" Ally menambahkan.

Putri Hilderose tak bisa menyembunyikan kekagetannya mendengar kalimat-kalimat Ally yang kasar dan tidak senonoh. Matanya membelalak, kemudian terarah ke belakang, ke balik dinding, ke penjara sebelah tempat ayahnya masih duduk diam.

"Aku kecewa pada Ayahanda! Mengajari anak kecil seperti ini untuk mengatakan hal-hal tidak pantas seperti itu!"

Tuan Meyr pun keluar dari lamunan gara-gara tuduhan tak jelas. Giliran dia yang berteriak, "Yang kaubilang anak kecil itu umurnya sudah hampir kepala tiga!"

Dalam harmoni, Leonore dan Putri Hilderose sama-sama membulatkan mata. "Ha?"

Tuan Meyr menegapkan punggung yang tadinya membungkuk. "Cih! Dasar perawan tua!"

"Lu. Ci. An. Meyr ...." Geraman Ally sudah seperti makhluk buas. Urat-urat tercetak jelas di kulit-kulit tangannya yang menggenggam erat tiang jeruji.

Dengan tenang, Tuan Meyr mengabaikan omelan bertubi-tubi yang kembali dilancarkan Ally. Tak masalah. Semenjak Ally berada di bawah Kontrak-nya, dia tak bisa melukai Tuan Meyr. Pria itu kemudian mengarahkan perhatian ke Leonore. Si pemuda tampak berusaha menahan tawa yang sesekali meluncur dari mulutnya.

Tuan Meyr menatap lantai kembali. "Aku tidak percaya kalau kau masih sama seperti dulu."

Leonore tadinya ingin menanyakan maksud Tuan Meyr, tapi diurungkannya. Dia langsung paham. "Mungkin Anda yang terlalu banyak berubah."

"Setelah merasakan sendiri dunia luar Exolia, aku terpaksa berubah." Tuan Meyr menengadahkan kepala, mengamati lubang-lubang kecil di antara batu-batu langit-langit. "Pada akhirnya, aku sama saja seperti Alvaron. Dia juga jadi sekejam itu karena tidak pernah merasakan kedamaian Exolia."

"Benarkah begitu?" Leonore mengeluarkan benda yang sudah lama berada di balik lengan baju. Ponsel.

Benda itu memancing ketertarikan Tuan Meyr. Kaki pun diturunkan, kesegaran seolah muncul kembali ke setiap jengkal tubuhnya. Supaya tak terdengar, dia memelankan suara sampai hampir berbisik. "Bagaimana mungkin benda itu masih bisa hidup?"

"Maksud Anda?"

"Ah, tidak. Berikan saja dulu padaku." Tuan Meyr mengulurkan tangan. "Aku ingin memeriksanya."

Leonore menyipitkan mata sesaat, kemudian menjawab, "Aku ingin menghubungi Tuan Putri Ester dulu."

"Baiklah. Silakan saja."

Keduanya tidak bicara untuk beberapa lama, sampai akhirnya Leonore mengaku, "Aku tidak tahu bagaimana cara mengoperasikannya."

"Kalau begitu tidak usah bertele-tele! Cepat berikan padaku, aku yang akan menghubungi!"

Leonore sebenarnya enggan mengikuti saran Tuan Meyr, tapi apa pilihan lain yang dia punya? Dari tempatnya duduk, Leonore melempar benda itu. Tuan Meyr memarahinya walau dia berhasil menangkap dengan sempurna, karena biar bagaimanapun, alat itu tidak akan bisa dipakai kalau hancur. Menunggu Tuan Meyr menghubungi Putri Ester mengingatkan Leonore akan pertempuran di langit. Baru dua hari berlalu semenjak itu, tapi rasanya sudah begitu lama. Dan di antara waktu-waktu yang berlalu itu pula, Leonore sama sekali belum sempat memperkuat sihirnya.

Pemuda itu memejamkan mata. Udara dingin penjara merasuk hingga ke tulang, bentakan-bentakan dari sudut penjara lain menyusup ke telinga. Ketajaman panca indra itu Leonore kurangi sedikit demi sedikit, konsentrasi dia pusatkan pada satu hal.

Dewi Magna.

Kata Pangeran Alvaron, percaya kepada Dewi Magna akan memperkuat sihirnya.

Leonore memang sudah meragukan Eoden, tapi untuk kali ini saja, dia ingin percaya pada sumber kekuatan Lumia.

Kegelapan berubah terang seketika. Mata Leonore yang terpejam menemukan sebuah ruangan putih, sepasang mata yang mengawasi tajam, kemudian sosok seorang wanita yang tertidur.

"Leon!" panggil Tuan Meyr.

Leonore terkesiap membuka mata. Di hadapannya, terbentang kumpulan tiang jeruji, lalu dinding di seberangnya. Cukup lambat untuknya menyadari tangan Tuan Meyr yang bergoyang-goyang memegang ponsel, tersodor ke arahnya.

"Tuan Putri Ester? Atau kaumau membatalkannya?"

"Tidak, tidak, tunggu!" Leonore merangkak mendekati Tuan Meyr. Setelah mengambil ponsel, ragu-ragu, didekatkannya benda itu ke telinga, mengikuti gerakan Putri Hilderose dulu ketika berkomunikasi. "Tuan ... Putri?"

Onogoro (Trace of A Shadow #2) [COMPLETED]Where stories live. Discover now