Kenyataan (Part II)

310 39 8
                                    

Waktu pengerjaan tidak sampai tiga puluh menit, Putri Hilderose memeriksanya dengan cepat.

"Sempurna!" Dia berseri-seri sambil memberi tepuk tangan singkat. "Menu bulan ini sudah oke. Mulai besok kita akan masuk pelajaran baru."

Satsu ingin sekali protes. Dia mau libur sesekali. Namun, Putri Hilderose tiba-tiba mengusap-usap kepalanya. Pemuda itu mengepalkan kedua tangan di atas paha, menahan malu. Di satu sisi, dia sebenarnya senang. Di sisi lain, rasanya Putri Hilderose selalu menganggapnya anak-anak, padahal umur mereka sama.

Satsu menatap Putri Hilderose yang sudah melepaskan tangan dan berbalik. Ada satu cara agar Putri Hilderose lebih menganggapnya sebagai pria yang bisa diandalkan. Dia harus lebih berani. Satsu memperhatikan tangan Putri Hilderose yang terangkat ke dagu seolah sang putri sedang berpikir. Tangan, setidaknya pegang tangan dulu kan bisa.

Dengan pendirian mantap, Satsu berdiri. Tangannya hendak meraih tangan kanan Putri Hilderose yang tengah berada di sisi tubuhnya. Jarak mereka tidak jauh.

Akan tetapi, Putri Hilderose menoleh. Pandangan mereka bertemu. Satsu mematung dalam posisi aneh. Dia tersenyum canggung.

Putri Hilderose membalas senyum itu, lalu berkata, "Setelah apa yang kaulakukan, kau masih berani menyentuhku?"

Hah?

Tatapan Putri Hilderose yang semula ramah berubah dingin. Satsu mundur ketika Putri Hilderose mendekat. Dia tiba-tiba saja takut. Ketika belakang kakinya membentur kursi, Satsu terjatuh, tetapi bukan benda-benda kayu keras yang menyambutnya.

Air. Tangannya tercelup ke dalam air sedangkal mata kaki.

Dalam sensasi aneh itu, Satsu menurunkan pandangan, memastikan sekitarnya.

Merah. Seluruh sudut kamar telah berubah menjadi kolam darah, entah sejak kapan. Kepala dan bagian-bagian tubuh menggenang di mana-mana. Di tengah semua itu, Putri Hilderose berdiri, menatapnya dingin dari atas. Bukan hanya itu, darah juga mengalir dari dada sang putri.

"Tidakkah kau ingat? Kau telah melukaiku."

Satsu menggeleng-geleng. "Aku ... aku tidak sengaja." Entah sejak kapan dia bisa bicara.

"Aku sudah menyuruhmu berhenti, tapi kau masih tetap membunuh mereka. Apa kau juga mau bilang kalau itu tidak sengaja?"

Satsu kembali menggeleng.

"Kau meninggalkanku."

Satsu meremas dadanya kuat-kuat sambil menatap kedua mata Putri Hilderose yang tak menyorotkan ekspresi sama sekali. Apa yang seharusnya dia lakukan? Apa yang seharusnya Tuan Meyr lakukan?

Dalam ketidakberdayaan, Satsu meringkuk memegangi kepalanya dan berteriak sekencang-kencangnya. Suara yang sudah lama sekali tidak bisa dia keluarkan.

***

Satsu terbangun dengan napas terengah, air mata menuruni kedua pipinya hingga tanpa sadar dia mengusap-usapnya seperti anak kecil. Butuh beberapa menit untuknya sadar bahwa semua itu hanya mimpi.

Setelah kesadarannya benar-benar pulih, ketenangan langsung terpancar di wajah Satsu. Dia merasa bodoh. Tidak seharusnya seorang pria menangis, meski tak sadar sekalipun.

Satsu bangkit, selimut masih menutupi sebagian tubuhnya.

Tidak sedikit pun dia terkejut.

Tempat tidur dan selimut tebalnya berada di atas lantai *tatami, bukan di atas ranjang kayu. Sinar matahari masuk lewat jendela yang sudah terbuka. Tidak seperti *shoji biasa, ada tembok setinggi sekitar satu meter di bawahnya, sementara jendelanya sendiri masih berbahan kertas tembus cahaya. Memang aneh, tapi semua itu menandakan bahwa Satsu benar-benar telah kembali ke Jepang. Pakaiannya pun telah berganti dengan yukata putih bercorak biru.

Ketika Satsu memandang kosong ke depan, perasaan hampa yang aneh menumpuk di dadanya.

Dia sama sekali tak merasa tempat itu nyata.

Mimpi tadi masih terasa jauh lebih nyata.

Seolah terpanggil oleh bekas-bekas luka di pergelangan tangannya, pandangan Satsu terarah ke sana. Dia kembali menggigit telunjuk, mengeluarkan bilah hitam sebesar jarum, lalu mengarahkan ujung tajamnya pada tumpukan luka.

Namun, dia berhenti saat pintu kamar menggeser terbuka.

***

Di sebuah lapangan luas berbentuk lingkaran dengan tembok setinggi lebih dari dua meter mengelilinginya, Leonore berdiri. Pedang cahaya tergenggam di kedua tangannya.

Gumpalan panjang tanpa bentuk yang berwarna hitam dengan duri-duri tajam di tiap sisinya memelesat ke atas, menghampiri orang-orang yang duduk di atas tembok—para penonton. Mereka terkesiap dan berteriak, tetapi gumpalan itu membentur pelindung transparan sebelum berhasil menyentuh mereka, memantul, lalu menukik ke bawah menghampiri Leonore.

Dengan mudah, Leonore menghindar ke samping.

Si gumpalan membentur tanah dan memantul lagi menuju tembok. Begitu seterusnya hingga gerakannya berubah pelan. Dia berhenti memantul, hanya mengalir seperti ular yang perlahan kehilangan duri-duri dan bentuk asalnya. Dia kemudian menggumpal lagi membentuk makhluk berkaki empat dengan sayap di punggung dan tanduk di dahinya.

Droxa Level 3.

Dengan tenang, Leonore mengarahkan pedang pada Droxa itu. "Effi-Lumia, Lumegladio," ucapnya pelan.

Sekumpulan pedang cahaya terbentuk di depan Droxa, lalu memelesat cepat membelah-belah monster itu.

Serangan belum selesai, dia kembali merapal sihir penggandaan Lumegladio, lagi dan lagi. Ketika musuh baru saja ingin berubah kembali menjadi gumpalan duri, Leonore melaju. Dengan kedua pedangnya, dia membelah Droxa itu. Tidak seperti Lumegladio biasa, percikan-percikan cahaya yang mengenai tubuh sang monster menjalar ke seluruh tubuhnya, membelahnya terus-menerus hingga berkeping-keping.

Droxa Level 3 itu musnah meninggalkan asap hitam.

Sorak-sorai penonton meramaikan suasana ketika Droxa terakhir dari lima buah Droxa hari itu mati. Leonore melepas kedua pedang Lumegladio. Pedang-pedang itu pecah menghilang setelah menjauh dari tangannya.

"Jangan lengah, Leon!"

Leonore melirik. Sebuah panah hitam memelesat tepat di sampingnya, lalu menancap pada seekor Droxa tikus kecil yang hendak mendekati pemuda itu. Droxa itu mengurai menjadi asap.

"Aku cuma ingin memberimu kesempatan menyerang, Hilde."

Putri Hilderose menurunkan busurnya setelah pertempuran benar-benar selesai. Dia merengut.

***

Footnote:

*) Tatami = Lantai kamar tradisional Jepang yang terbuat dari jerami yang sudah ditenun.

*) Shoji = Pintu atau jendela geser tradisional Jepang.

Author's Note: Makasih udah baca sampai sini :) Jangan lupa untuk kasih vomment kalo suka atau ingin mendukung author ya :D Apalagi kalo ada komen yang bisa ningkatin ceritanya lagi, pasti dicatet-catet nih. Hehe. Eh iya. Gambar buat si Hilde masih proses, jadi untuk sementara tak kasih ini dulu aja, meskipun gak gitu mirip :'D

 Gambar buat si Hilde masih proses, jadi untuk sementara tak kasih ini dulu aja, meskipun gak gitu mirip :'D

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Onogoro (Trace of A Shadow #2) [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang