Kembali (Part II)

387 45 12
                                    

Satsu segera mendapati sebentuk bangunan yang dikenalnya, tapi belum sempat bereaksi, angin mendadak bertiup menderu. Satsu sontak menutup mata. Hawa dingin menyusup masuk ke dalam jaketnya yang sudah robek-robek. Satsu mendekap dirinya sendiri sambil menggigil.

Bunyi gesekan kecil seperti cicit tikus terus-menerus terdengar dari sekitar. Sepatu Satsu bergesekan dengan lantai yang lebih kasar; jalan yang terbuat dari bebatuan. Bau busuk sedikit tercium meski tidak menyengat. Perlahan, Satsu kembali membuka mata. Tak butuh waktu lama bagi kedua matanya untuk terbelalak lebar.

Jauh di depannya berdiri kokoh sebuah bangunan dengan atap melengkung, tingginya sekitar tiga sampai empat meter. Lubang di tengahnya menandakan bangunan itu sebagai gerbang, pilar-pilar silinder gemuk menyokongnya. Sementara itu, di kiri-kanan bangunan membentang dinding pembatas beratap lebih sederhana dengan tinggi hanya setengah dari gerbang itu.

Bukan hanya bentuk atap bangunan yang khas, di kiri-kanan jalan bebatuan berderet beberapa lentera batu. Memang tidak sampai ujung jalan, tapi bukan itu yang terpenting.

Ketika Satsu berbalik, bangunan yang mirip dengan gerbang itu berdiri di sana; kali ini dua tingkat. Ada papan nama terpampang di atas atap tingkat pertama, tapi tidak jelas akibat gelapnya malam. Namun, Satsu yakin.

Bangunan-bangunan ini sangat khas untuk wilayah Asia Timur.

Namun, Satsu tidak tahu apakah ini Cina atau Jepang. Dia tidak pernah ke Cina ataupun tempat ini. Mirip kuil-kuil Jepang pada umumnya, dan mudah-mudahan memang betul. Satsu berusaha menelisik sekitar, tapi tak ada objek lain yang bisa lebih memberitahunya.

Bunyi derit seperti cicit tikus tadi menyusup kembali ke telinga Satsu. Di kanannya, beberapa kincir kecil tertancap di tanah berkerikil di luar jalan bebatuan, berputar-putar tertiup angin. Ketika berbalik ke arah gerbang satu tingkat yang lebih jauh tadi, di kanan Satsu terdapat kumpulan kincir angin kecil serupa yang tertancap pada gundukan batu. Rupanya derit-derit itu bunyi kincir. Di atas gundukan batu berdiri sebuah patung kecil dengan kain pada bagian bahu. Kemungkinannya semakin besar bahwa tempat itu adalah kuil.

Satsu menghela napas. Dia menyerah untuk menelaah sendiri dan berusaha mencari seseorang yang bisa ditanyai. Reflek, pemuda itu membuka mulut.

Tak ada suara yang keluar meski dia sudah mendorong suara dari perutnya.

Satsu mengeritkan gigi. Efek Shadow masih melekat erat pada dirinya. Asap hitam memang sudah hilang setelah luka-lukanya sembuh, tapi dia masih merasakan jelas keberadaan kekuatan itu.

Satsu menggigit jari untuk memastikan.

Asap mengalir keluar menggantikan darahnya.

Gemetar Satsu bertambah seiring dia menggigit bibir hingga berdarah—bukan, berasap. Dia sudah tidak pernah mencicip rasa darah semenjak berubah menjadi Shadow. Bukan berarti dia suka darah. Asap tanpa rasa lebih menjijikkan daripada merasakan darah pada lidahmu.

Satsu mengendalikan asap hitam pada jarinya agar menyelimuti sekujur tangan kanan dan membentuk sebilah pisau. Dia lalu menggores pergelangan tangan kirinya. Berkali-kali, dengan hentakan napas penuh kesal setiap kali menyayat tubuhnya. Asap hitam kembali keluar dari luka-luka itu, bergegas menyembuhkan semuanya. Di bawahnya, irisan-irisan lama masih membekas—irisan yang melegakan Satsu setiap kali dia depresi. Sayang, setelah menjadi Shadow, luka seberat apa pun dapat menghilang dengan mudah. Dia sudah sulit mati.

Setelah goresan keenam yang merobek daging hingga nyaris menyentuh tulang, Satsu berhenti. Irisan terakhir itu membuatnya ngilu.

"Ayahanda?!"

Suara seorang gadis dalam bahasa Exolia menyentak fokus Satsu ke belakang.

Suara seorang gadis dalam bahasa Exolia menyentak fokus Satsu ke belakang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Onogoro (Trace of A Shadow #2) [COMPLETED]Where stories live. Discover now