Kerajaan Magna (Part II)

258 37 8
                                    

Setibanya di lobi, para bangsawan berjubah, petarung-petarung yang telah berganti pakaian dan merapikan diri, serta beberapa pengunjung dari kota, membuka jalan untuk keempat orang itu. Sesampainya di luar, halaman istana membentang luas, pohon-pohon eboni tertanam secara ritmik di sekitar dinding istana dan dinding gerbang. Sementara Leonore dan Pangeran Alvaron mengambil jalan kiri menuju istana utama, Putri Hilderose dan Colesha bergegas ke arah utara, tempat gerbang menuju kota luar istana terbuka lebar.

"Ada yang kaukhawatirkan?" tanya Pangeran Alvaron.

Leonore yang semenjak tadi menoleh ke arah Putri Hilderose, akhirnya fokus pada sang pangeran. "Tentu saja. Tidak banyak yang kupunya sekarang," jawabnya tenang.

"Aku sudah pernah bilang, bukan? Kita bisa mengembalikan Tuan Putri Ester ke sini. Setelah menyaksikan sendiri kekuatannya membuka gerbang Eoden, aku tak perlu menikahinya dan punya anak dulu."

"Punya anak?" Suara Leonore mengencang seketika, menggema di seluruh lorong istana yang baru saja mereka masuki. Dia mendelik, lalu menajamkan ekspresi. "Lumegladio!"

Dua pedang cahaya berbenturan. Rupanya Pangeran Alvaron merapal sihir di saat yang sama. Dia menahan serangan Leonore dengan tenang, meskipun tangannya bergetar akibat adu kekuatan.

"Jika aku ataupun Tuan Putri Ester tidak mewarisi kekuatan itu," kata Pangeran Alvaron, "maka kami harus mengandalkan anak kami." Dia menendang perut Leonore, keras-keras, hingga punggung Leonore membentur dinding.

Leonore memulihkan postur dan berniat segera maju, tetapi pedang-pedang Lumegladio sudah mengepungnya. Dia berdecak, lalu menegapkan tubuh dengan malas. Setelah memalingkan muka dan mengayun-ayun pedangnya sejenak, Leonore melemparkan pedang itu ke arah Pangeran Alvaron. Tak perlu menghindar ataupun menahan, pedang cahaya pecah sebelum berhasil menyentuhnya. Leonore menggeram. Dia tahu, tak ada yang bisa dilakukan.

"Bisakah kita melanjutkan pembicaraan?" Pangeran Alvaron menghilangkan kumpulan pedang dari sekeliling Leonore. Sebelum serangan lain meluncur, dia merapal Lumerestrea dan mengikat pergerakan Leonore, kecuali kakinya.

"Hei!" Leonore ingin protes, tapi pangeran itu sudah berjalan lagi menuju ruang pertemuan. Leonore menggerutu.

"Tidakkah kaupikir itu jalan terdamai yang sudah kupikirkan?" Suara Pangeran Alvaron terdengar tenang, tapi tidak santai. Ada kesenduan tersendiri yang bisa dirasakan Leonore.

Namun, untuk apa Leonore peduli?

"Damai bagimu mungkin, tapi tidak untuk Tuan Putri Ester."

Dalam hal kesenduan, Leonore juga bisa melakukannya. Pemuda itu menunduk. Dia sudah kehilangan banyak orang gara-gara pria di depannya itu. Putri Ester yang tengah menghilang sekarang juga pasti merasakan hal serupa, atau mungkin lebih buruk. Leonore mengembuskan napas pelan jika mengingat ketidakbecusannya lagi.

"Memangnya kaupikir aku senang menikah dengan orang yang tidak kukenal, bahkan berdarah keturunan masyarakat yang kubenci?" Pangeran Alvaron berbalik.

Leonore tertegun, tapi bukan karena kesedihan yang terpancar dari ekspresi sang pangeran, melainkan karena Pangeran Alvaron memalingkan wajah.

Pangeran Alvaron menghela napas, lalu berbalik lagi. "Sudahlah. Lupakan aku pernah mengatakannya."

Sepanjang sisa perjalanan mereka menyusuri lorong-lorong besar istana kerajaan Magna, keduanya terdiam. Masing-masing memikirkan hal yang berbeda, meski mereka tetap memiliki satu kesamaan yang membuat tatapan keduanya menajam, penuh kemantapan.

Ruang pertemuan istana Magna tidak jauh berbeda dengan Exolia, hanya saja lebih luas. Meja kayu panjang terletak di tengah. Tujuh kursi kosong berjejer mengelilingi, kecuali bagian utara meja yang biasanya diisi oleh pemimpin, jika itu adalah Exolia. Sebagai gantinya, dua kursi diletakkan terpisah dari meja, di ujung utara ruangan, pada lantai yang lebih tinggi sekitar sepuluh senti.

Onogoro (Trace of A Shadow #2) [COMPLETED]Where stories live. Discover now