13

7.1K 755 65
                                    

The Truth
•﹏•










"Hanya ini saja, Jimin?"

"Iya, Hyung."

Jimin sedang berada di minimarket untuk membeli es krim pesanan Taehyung. Dia hanya sendiri karena Taehyung harus menunggu rebusan daging sedangkan Seokjin sedang ke cafe untuk mengecek bahan makanan untuk besok.

"Kemana Taehyung? Biasanya kalian selalu berdua kalau kemari. Atau kau sengaja mampir kesini dulu untuk membelikannya es krim?" Jisoo -si kasir- memang sudah kenal lama dengan Jimin, semenjak berteman dengan Taehyung mereka berdua selalu langganan berbelanja di minimarketnya. Bahkan kadang mereka bisa seharian main disana, sekedar untuk ngobrol ditemani seporsi ramen telur.

"Oh, aku lupa memberitahumu ya, Hyung? Aku sekarang tinggal bersama Seokjin Hyung dan Taehyung."

Jisoo mengulurkan satu kantung plastik berisi makanan ringan dan dua cup es krim pada Jimin. "Ah, begitu? Jadi orang tua mereka benar-benar pindah ke Daegu ya?"

"Iya, mereka mengurus Nenek Taehyung. Seokjin Hyung mengajakku tinggal bersama mereka, kupikir aku juga kesepian karena tinggal sendiri jadi aku setuju."

Pria tinggi itu tersenyum. "Begitu rupanya. Sudah malam, hati-hati atau perlu kuantar sampai depan kompleks?"

Jimin tertawa halus, "Hyung, aku sudah besar. Lagipula jarak minimarket ini dengan pos jaga hanya 200 meter, kau tidak perlu mengantarku. Kalau begitu aku pulang dulu, selamat malam, Jisoo Hyung."

"Malam, Jimin. Hati-hati!"

Jimin membalas dengan lambaian tangan, dia berjalan sendiri dengan satu kantung plastik ditangan kanan. Bibirnya menggumam kecil untuk menghilangkan sepi. Ini belum ada jam 9 malam, tapi kenapa suasana sepi sekali?

Jimin berhenti ketika mendengar suara langkah kaki mengikuti, ketika dia berbalik hanya ada pohon dan tiyang lampu yang menyala terang. Meski sebenarnya takut, tapi Jimin mencoba bersikap biasa saja. Lalu, dia kembali melanjutkan langkahnya.

Tepat pada langkah ketujuh, tubuhnya tersentak ke belakang lalu diseret ke sebuah gang yang cukup gelap.

"Hmmpp!!" Jimin terus memberontak agar dilepaskan, namun dia tidak cukup kuat. Seluruh tubuhnya terkunci. Matanya terpejam erat saat punggungnya menghantam dinding batu bata dengan semen kering yang mencuat kasar, menciptakan beberapa luka gores dilengan. Dia hanya memakai sweater tipis berlengan panjang, omong-omong.

"Diam!" geraman itu sontak menghentikan gerakan Jimin. Si pelaku tersenyum miring, menatap lurus mata bocah SMA yang menjadi tawanannya. "Halo, Jiminie, lama tidak jumpa ya? Aku mencarimu di apartemen tapi kau tidak ada, untung saja tetanggamu yang bodoh itu memberiku alamatmu yang baru. Kupikir akan sulit menemuimu, ternyata kau masih saja ceroboh seperti dulu."

"Hmpp!! Hmp!!"

Si pelaku hanya tertawa mengejek melihat Jimin yang terus meronta. Menggemaskan dan seksi sekaligus. Lihat bagaimana Jimin bernapas, lihat bagaimana indahnya tulang belikat itu, kulitnya yang halus, bahkan ditempat redup seperti ini Jimin justru tampak jauh lebih menggoda.

"Jangan berani berteriak atau aku akan membunuh kakakmu." perlahan si pelaku melepaskan tangan yang membekap mulut Jimin, membiarkan bocah manis itu meraup oksigen banyak-banyak.

Jimin menunduk, dengan tubuh bergetar ketakutan dia mencoba mengais cara diotaknya agar bisa lolos dari pria brengsek ini. Matanya perlahan melirik ke kanan dan kiri, barangkali menemukan balok kayu atau celah lebar untuk kabur.

"Kau semakin manis dan mulus, aku mencarimu sejak lama kalau kau mau tahu. Jika bukan karena kakakmu yang sok posesif itu tidak membawamu pergi, aku pasti sudah memilikimu seutuhnya."

Daily LoveWhere stories live. Discover now