11 | Kemageran Acha

1.9K 132 0
                                    

"Acha."

Acha melemparkan pandangannya ke arah sang Mama yang baru saja memanggilnya. Sebelumnya sempat Acha memasukkan sepotong roti ke dalam mulutnya.

"Kenapa, Ma?" tanya Acha dengan mulut yang masih kepenuhan.

"Jadi kapan Acha mau ubah sifat buruk Acha?" tanya Maya serius.

Daren yang tadinya tidak begitu peduli dengan obrolan yang sedang berlangsung, kini ia ikut melemparkan pandangannya ke arah Maya. Sepertinya pembahasan kali ini cukup serius dan penting.

"Maksud Mama?" tanya Acha polos.

Maya mendengus pelan, memperhatikan Acha dengan lebih serius, "Kapan Acha mau mencoba mandiri? Acha nggak bisa terus-terusan kayak gini. Sampe kapan Acha mau bergantung sama Daren dan ngerepotin Daren terus? Acha nggak bisa kayak gini terus, sayang..."

Acha mendengus pelan. Diam sejenak sebelum akhirnya ia angkat bicara, "Mama ribet."

Jawaban Acha membuat Maya terheran-heran, "Kok ribet?"

"Ma, hidup itu simple kalo nggak diribetin," desis Acha pelan. "Mama tenang aja, Daren nggak pernah ngerasa direpotin kok. Ya kan, Ren?"

Daren menoleh ke arah Acha. Frustasi dalam menghadapi sikap Acha.

"Cha, gue emang nggak pernah ngerasa direpotin sama lo. Gue juga nggak masalah kalo lo terus-terusan bergantung sama gue." jeda. "Tapi nggak ada salahnya juga untuk lo berubah dan melupakan kebiasaan-kebiasaan buruk lo itu."

"Bener yang dibilang sama Daren. Ada baiknya Acha mencoba perbaiki diri," sambung Maya.

"Ma, segala sesuatu itu harus disertai dengan niat dan kemauan," desis Acha. "Sedangkan Acha? Acha nggak berniat dan belum punya kemauan untuk ngerubah diri. Ngerubah diri itu ribet, Ma. Acha nggak suka yang ribet-ribet. Acha suka bebas dan nggak ada yang ngekang."

Maya menggeleng-gelengkan kepalanya setelah mendapatkan jawaban dari Acha yang super konyol itu. Sudah sering kali Maya menasehati Acha dalam hal ini, namun tidak pernah sekalipun Acha menuruti kemauannya. Padahal yang diminta oleh Maya adalah sesuatu yang baik dan sudah menjadi keharusan bagi Acha untuk melakukannya, bukan malah menentangnya.

"Acha berangkat sekarang ya Ma?" ucap Acha sembari bangkit dari duduknya. "Yuk, Ren?"

Daren mengangguk dan kemudian ikut berdiri lalu menggunakan ransel di sebelah bahunya.

"Aku sama Acha berangkat ya, Tan?" ucap Daren sembari mencium punggung tangan Maya.

"Acha berangkat." selanjutnya Acha bergegas mencium punggung tangan Mamanya. Tidak lupa Acha mendaratkan sebuah ciuman tepat pada pipi kiri Maya. "I love you, Ma!"

"Love you to." Maya menyahut pelan sembari tersenyum lebar. "Hati-hati."

Acha lantas menarik pergelangan tangan Daren dengan sangat kuat. Daren mencak-mencak di belakang meminta dilepas, namun Acha mengabaikannya.

"Sakit, Cha!" sentak Daren saat sudah berada di luar rumah dan sudah berhadapan dengan mobil kepunyaannya.

"Lebay lo!" lantas setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Acha langsung memasuki mobil dan duduk di jok depan.

Daren mendengus, lalu ikut masuk ke dalam mobil.

Tanpa aba-aba, Daren lantas menekan gas dan mobil melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan jakarta menuju ke sekolah.

Acha yang duduk di sebelah Daren, memutuskan untuk tidur. Rasanya waktu seperti ini terlalu sayang jika tidak dimanfaatkan untuk tidur.

"Cha, gue heran sama lo. Kok lo bisa tidur dimana aja sih? Ini bukan kasur, Cha. Emang manusia mageran tingkat dewa lo." Daren menatap sinis ke arah Acha yang masih memejamkan matanya.

"Tidur itu bukan soal tempatnya, tapi soal nyaman enggaknya." Acha menyahut tanpa berniat membuka matanya.

"Berarti semua tempat bisa bikin lo nyaman ya, Cha? Karena dimana pun tempatnya, pasti lo tidur, tidur dan tidur," decak Daren geleng-geleng kepala.

"Hm, iya. Lo bener, Ren. Gue emang bisa tidur dimana aja karena gue nyaman," tutur Acha tersenyum.

"Sakit lo."

Diam. Acha tidak menyahut apa-apa lagi. Menanggapi ucapan Daren hanya akan membuat waktu tidurnya terlewatkan secara percuma. Acha tidak suka itu. Acha ingin waktu tidurnya terisi dengan sempurna.

"Ren."

"Hm." Daren menggumam tanpa menoleh kearah Acha.

"Mampir ke La Vera Pizza dulu, ya? Gue... pengen pizza," ujar Acha membuka matanya perlahan.

"Ntar aja pulang sekolah," sangkal Daren yang langsung digelengkan oleh Acha.

"Gue maunya sekarang." Acha berlendetan manja.

Daren mendengus lalu mengangguk pelan, "Yaudah, kita beli pizza dulu."

***

"Cha, lo nggak mau turun?" Daren menatap heran ke arah Acha yang sedari tadi sibuk dengan pizzanya.

Mobil yang dikendarai oleh Daren baru saja berhenti di parkiran sekolah. Daren sudah melepas sabuk pengaman, mengenakan ranselnya dan siap untuk turun.

"Cha!" Daren menegur dengan nada suara lebih tinggi saat Acha masih tidak memberikan seuntai jawaban apapun.

"Hm..." Acha menggumam pelan sembari mengangguk. "Tapi gendong..."

"Males." Daren membuang muka dan menolak ogah-ogahan permintaan Acha.

"Daren, lo jahat." Acha memonyongkan bibirnya cemberut. Acha kesal karena Daren menolak untuk menggendongnya. "Kalo lo nggak mau gendong, yaudah nggak pa-pa. Tapi gue juga nggak mau turun. Gue di mobil aja sampe pulang sekolah." Acha memperlihatkan senyum di sebelah bibirnya. Selanjutnya Acha melahap pizza di potongan terakhir. "Enak..." Acha mendesis pelan sembari terkekeh.

"Sakit." Daren geleng-geleng kepala dengan sikap Acha yang terlalu cuek itu. "Jalan ke kelas itu nggak jauh, Cha. Paling cuma berapa meter doang."

"Mager."

"Astaga!" Daren mendengus frustasi. "Yaudah, gue gendong."

"Nah gitu dong!" Acha memekik keras lalu memeluk erat pinggang Daren dari samping. "Lo emang sahabat gue yang paling baik dan paling mengerti gue."

"Lebay lo!" Daren berusaha kelas melepaskan pinggangnya dari pelukan erat Acha. "Lap dulu tuh mulut lo berantakan." Daren menunjuk kearah mulut Acha yang dipenuhi dengan bercak-bercak pizza.

"Mager."

Daren mendengus setelah mendapat jawaban dari Acha. Selanjutnya Daren meraih tissue lalu membersihkan sisa-sisa makanan yang menempel di sudut bibir Acha. Mata Acha tidak dapat teralihkan dari Daren. Acha suka wajah Daren yang tampan, Acha suka mata Daren yang berbinar-binar itu. Acha suka semua yang ada pada Daren, semuanya tanpa kecuali.

"Lo kenapa ngeliatin gue kayak gitu?" tegur Daren sembari menepuk pelan jidat Acha.

"Lo ganteng." Acha berujar pelan sembari tersenyum lebar.

"Udah tau." Daren tersenyum di sebelah bibirnya.

"Karena itu gue mau jadi istri lo." Acha memperlihatkan sederet gigi putihnya. Menggemaskan. "Lagian nggak masalah kan, kalo lo nikah sama gue?"

"Gue nikah sama lo emang nggak masalah. Tapi masalahnya gue yang nggak mau jadi suami lo!" sangkal Daren membuang muka.

"Daren... jahat." Acha memonyongkan bibirnya kesal. "Tapi nggak pa-pa kalo lo nolak gue, gue yakin suatu hari nanti lo pasti bakal jadi suami gue." Acha tersenyum miring, penuh harap.

"Jangan ngimpi." Daren mendecih mengejek. "Yuk, turun?"

"Gendong..."

Daren mendengus. Bergegas keluar dari mobil. Menuju ke arah pintu mobil kiri jok depan, membuka pintu dan siap menyambut Acha.

Daren meraih ransel Acha lalu mengenakan di sebelah bahunya. Selanjutnya Daren meletakkan tangannya di pundak dan tungkai kaki Acha, lalu mengangkat gadis tersebut.

"Gue sayang sama lo, Daren..."

***

FRIENDSHIT [TAMAT]√Kde žijí příběhy. Začni objevovat