29 | Anugrah Terindah

1.1K 72 0
                                    

Acha berjalan beriringan bersama Daren menuju ke arah parkiran sekolah. Kelas sudah bubar beberapa saat yang lalu. Parkiran kini diisi penuh oleh siswa-siswi yang berlalu lalang mengambil kendaraan masing-masing.

"Cha, nanti sore lo ikut gue ya?" Daren menoleh ke arah Acha yang berada di dalam rangkulannya.

"Kemana?" tanya Acha heran.

"Jalan-jalan sama Citra," jawab Daren tersenyum lebar.

"Emang nggak pa-pa kalo gue ikut?" Acha terlihat ragu dengan ajakan Daren.

"Nggak pa-pa dong." Daren menjawab cepat. "Kemana pun gue pergi, lo harus ikut."

Acha terkekeh lalu mengangguk setuju.

"Acha!"

Acha dan Daren secara bersamaan menoleh ke arah seorang pria yang berdiri di depan gerbang sekolah. Tersenyum lebar saat Acha menoleh ke arahnya.

Langsung saja Acha memasang wajah datar begitu mengetahui siapa orang yang memanggilnya. Meraih pergelangan tangan Daren untuk mengajaknya segera pergi.

"Kita pulang sekarang."

Tanpa mengangguk, Daren lantas menuruti ucapan Acha. Mengerti mengapa Acha langsung mengajaknya untuk pulang. Kondisi hati Acha pasti akan rusak jika bertemu dengan pria yang saat ini berjalan tergesa-gesa menghampiri Acha dan Daren.

Bram.

"Acha tunggu Papa!" Bram meraih pergelangan tangan kanan Acha saat Acha akan memasuki mobil.

"Lepasin gue!" Acha menyentak keras. Emosi dengan hadirnya Bram.

"Acha, Papa mohon, Nak... Tolong jangan marah lagi sama Papa. Papa bener-bener minta maaf, sayang." Bram mengatupkan kedua tangannya di depan dada. Berharap Acha akan iba lalu memaafkan kesalahannya.

"Kesalahan lo itu udah nggak mungkin buat gue maafin." Acha menjawab ketus. Menatap rendah ke arah pria yang berdiri di hadapannya itu.

"Acha, Papa mohon. Papa bener-bener minta maaf sama Acha. Acha jangan benci Papa lagi, ya?" Bram semakin memohon.

"Papa bilang apa? Maaf?" Acha mendesis seolah tak percaya. "Udah bertahun-tahun Papa tinggalin Acha sama Mama, dan Papa baru minta maaf sekarang?" Acha tersenyum miring. "Kemarin-kemarin lo kemana? Ha?" Acha tertawa geli. Seolah yang permintaan maaf dari Bram adalah sebuah lelucon.

"Maka dari itu Papa minta maaf sama Acha. Tolong, maafin Papa, ya?"

"Nggak." lagi, Acha menjawab ketus. "Lo nggak usah lagi deh, muncul di hadapan gue. Gue bener-bener udah nggak ngarepin lo balik ke dunia gue, ke hidup gue. Kalo lo mati juga buat gue bukan masalah."

Bram menatap Acha tidak percaya. Rahang-rahangnya mengeras, sangat sakit mendengar penuturan Acha yang sangat kurang ajar itu.

"Lo lebih kurang ajar." Acha mendesis pelan, seolah tau isi kepala Bram saat ini.

"Acha, kamu-"

"Papa!"

Kiena melambai-lambaikan tangannya ke arah Bram. Gadis itu berdiri di ujung koridor utama. Bram menghentikan pertengkarannya dengan Acha saat telah mengetahui kehadiran anak tirinya.

"Papa udah lama?" tanya Kiena saat sudah berjarak dekat dengan Bram.

Bram tersenyum lalu menggeleng, "Belum sayang, baru aja."

Acha membuang muka, muak rasanya melihat dan mendengar obrolan kedua manusia di hadapannya.

"Kita jadi kan Pa, makan di luar?" tanya Kiena semangat.

"Jadi dong, sayang. Justru karena itu, makanya Papa jemput kamu ke sekolah." Bram mengelus pelan puncak kepala Kiena.

Ini mengesalkan untuk Acha. Sungguh sangat mengesalkan.

"Eh, ada Acha?" Kiena melemparkan pandangannya ke arah Acha lalu tersenyum miring. "Mau kita anter pulang, nggak? Atau mau sekalian makan bareng sama kita, di luar?"

"Nggak, makasih." Acha menolak datar.

"Yakin?"

Acha menoleh ke arah Daren. Jengah juga rasanya jika ia terus-terusan berada di posisi ini.

"Ren, kita pulang sekarang ya?" ajak Acha yang langsung dianggukkan oleh Daren.

"Siap princess!" Daren berkata tegas lalu mengubah bentuk tangannya layaknya sedang hormat.

Acha terkekeh geli, Daren memang selalu menjadi penghiburnya.

Daren merangkul bahu Acha, tersenyum lebar saat Acha menatapnya teduh.

"Nanti gue bakal masakin nasi goreng spesial buat lo. Bahkan jauh lebih enak dari pada restoran-restoran ternama yang lainnya." Daren melirik sinis ke arah Kiena. Bermaksud mengejek gadis itu.

"Siap, prince!" kali ini Acha yang mengubah bentuk tangannya seperti sedang hormat. Acha terkekeh geli saat Daren mengelus pelan puncak kepalanya.

"Yaudah, yuk?"

Acha mengangguk pelan. Lantas keduanya segera memasuki mobil dan bergegas meninggalkan pekarangan sekolah. Meninggalkan Bram dan anak tirinya yang masih mematung pada pijakan masing-masing.

"Cha." Daren mendesis pelan. Memanggil Acha yang saat itu sibuk dengan ponselnya.

"Kenapa?" tanya Acha penasaran tanpa menoleh ke arah Daren.

"Lo beneran udah nggak bisa maafin Om Bram?" tanya Daren ragu.

Acha menghela nafas berat. Mematikan ponselnya lalu memasukkannya ke dalam ransel yang berada di atas pangkuannya.

"Hm... gimana, ya?" Acha mendesis pelan. Cukup malas sebenarnya membahas persoalan Bram. Tapi... "Gue bener-bener udah nggak bisa terima maafnya dia lagi. Apapun alasannya, nggak akan pernah gue maafin dia. Lo tau sendiri kan, kalo gue paling nggak suka ada orang yang bikin Mama sedih? Dan lo juga nggak mungkin lupa kan, kalo dulu... Mama ngerasa tersakiti banget karena ulah Bram, cowok berengsek itu?" Acha mengeram kesal. Ingin rasanya Bram itu dibunuh dengan cara menyayat kulitnya.

"Hm, gue ngerti." Daren mengangguk pelan. "Lo ngelakuin itu semua karena lo sayang sama Tante Maya."

Acha manggut-manggut.

"Tapi... apa nggak ada peluang sedikit pun, untuk maafin Om Bram?"

"Nggak." Acha menjawab ketus. "Gue sama sekali udah nggak ngarepin dia. Buat gue selama ada Mama sama lo di samping gue, itu udah jadi anugrah terindah buat gue." Acha tersenyum lebar ke arah Daren.

Daren balas tersenyum. Senang mendengar penuturan Acha.

"Cha, jangan pernah mikir untuk ninggalin gue." Daren mendesis pelan sembari meraih tangan Acha lalu menggenggamnya erat. "Bukan cuma lo, gue juga nggak bisa hidup kalo nggak ada lo di hidup gue. Gue bisa mati kalo nggak ada lo yang bergantung sama gue. Gue bisa mati kalo nggak ada lo yang ngerepotin gue."

Acha tersenyu lebar. Senang mendengar penuturan Daren, "Lo tenang aja. Bahkan sedetik pun nggak akan pernah gue pake untuk mikir buat ninggalin lo. Karena itu... satu-satunya hal terbodoh yang nggak akan pernah gue lakuin."

Daren mengelus puncak kepala Acha pelan. Menatap teduh gadis yang duduk di sebelahnya ini.

"Gue sayang banget sama lo, Cha. Sampe kapan pun, nggak akan ada yang bisa nyenggol lo dari hati gue." Daren mendesis pelan. Apa yang diucapkan oleh Daren benar adanya. Daren benar-benar sangat menyayangi Acha, layaknya Adik sendiri.

"Gue juga sayang... banget sama lo, Daren." Acha tersenyum lebar. Balas menatap Daren. Nyaris bertumbukan.

Daren meraih pundak kiri Acha. Merangkul gadis itu, lalu menarik Acha ke dalam pelukannya. Acha balas memeluk pinggang Daren. Membiarkan pipinya bersentuhan dengan dada bidang Daren. Aroma parfum Daren yang tercium kalem itu, merambat rongga hidungnya. Sangat harum.

Sesekali Daren fokus ke depan. Karena posisinya saat ini ia sedang menyetir.

"Lo segalanya buat gue, Cha..."

oOo

FRIENDSHIT [TAMAT]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang