13 | Sosok Penenang

1.7K 123 0
                                    

Acha menangis terisak sembari terus berlari. Sesekali gadis itu menyeka air mata yang mengalir deras membasahi kedua pipi imutnya.

Acha sakit. Acha sangat sakit. Acha merasa tertekan dengan semua takdir yang menjadi miliknya. Acha merasa kebahagiaan tidak pernah memihak kepadanya, selain adanya Daren dan Maya di sisinya.

Acha hancur setelah berdebat dengan Papanya beberapa menit yang lalu. Acha merasa telah menjadi wanita paling hancur di dunia semenjak Papanya pergi meninggalkannya dan Mamanya. Apalagi setelah ia mengetahui bahwa Kiena ternyata adalah saudara tirinya. Acha tidak terima itu. Acha benar-benar tidak bisa menerima semuanya.

"Acha!" Daren yang mengekor di belakang Acha masih terus meneriaki nama gadis itu.

Acha enggan menoleh. Acha benci dengan semua yang ada di belakangnya. Tepatnya masa lalu yang kelam, yang sampai sekarang masih menyelimuti hatinya. Masa lalu yang hitam dan kelam itu telah merenggut paksa seluruh kebahagiaan yang ada dalam hidupnya. Acha benci masa lalu.

Acha memasuki mobil. Duduk melemas di jok depan. Acha menangis terisak di sana. Kejadian tadi sungguh sangat membekas dan menusuk lubuk hatinya.

Daren datang dan kemudian duduk di belakang setir, sebelah Acha. Lama Daren menatap Acha yang masih terisak. Daren iba. Namun Daren tidak bisa berkata-kata. Daren tau Acha terpukul. Daren tau bagaimana perasaan Acha saat ini. Daren sangat mengerti bagaimana kondisi Acha sekarang ini.

"Cha..." Daren meraih pundak Acha lalu mengelusnya pelan. Menatap teduh wajah Acha.

Perlahan Acha menoleh ke arah Daren. Daren menatap dalam mata Acha. Tatapan keduanya nyaris bertumbukan. Tidak tahan, Acha langsung menyambar ke dalam pelukan Daren. Daren menyambut hangat pelukan Acha.

"Gue... gue hancur, Ren..." Acha merintih keras di dalam pelukan Daren. Isakannya terdengar semakin jelas.

Daren mengelus-elus pelan puncak kepala Acha. Daren paham betul kondisi Acha saat ini. Daren sangat paham dan sangat mengerti.

"Cha, lo harus kuat. Lo jangan takut. Lo nggak sendirian, Cha. Ada gue yang bakal selalu ada buat lo." Daren mendesis pelan lalu mengecup lembut puncak kepala Acha. Daren dapat merasakan tubuh Acha yang gemetar hebat. Tubuhnya berkeringat dingin.

Acha memperkuat pelukannya. Bersama Daren seolah rasa sakitnya berkurang.

"Selain Mama, cuma lo seorang yang bisa bikin gue bahagia, Ren..."

***

Acha duduk termenung di sebuah kursi besi bercat putih yang ada di taman dekat sekolah. Pandangan Acha kosong. Menatap lurus ke depan. Acha banyak diam sejak kejadian tadi di sekolah.

Mood Acha rusak. Maka Acha memilih untuk bolos hari ini. Kalaupun sekolah, Acha yakin itu hanya akan membuatnya tertekan. Apalagi jika ia harus bertemu dengan Kiena.

"Cha..."

Daren yang duduk di sebelah Acha, menatap dalam wajah gadis tersebut. Daren sungguh sangat tidak suka Acha yang hanya diam. Daren suka Acha yang ceria, meskipun itu sedikit menyebalkan untuknya.

"Hm..." Acha menggumam pelan tanpa menoleh ke arah Daren.

Daren menghembuskan nafas berat. Daren sangat tidak suka situasi seperti sekarang ini.

"Lo jangan sedih lagi dong, Cha?" Daren memohon. "Gue ikutan sedih kalo ngeliat lo sedih kayak gini."

Acha menoleh perlahan ke arah Daren. Acha melemparkan senyum manisnya.

"Gue nggak sedih kok, Ren," desis Acha. "Gue nggak bakal pernah sedih cuma karena orang brengsek kayak Bram. Gue sama sekali nggak sedih."

Daren bungkam. Tidak dapat menjawab apapun.

"Gue cuma nyesel karena terlahir sebagai anaknya dia."

Lanjutan kalimat Acha membuat Daren sedikit terhenyak, "Lo nggak boleh ngomong kayak gitu, Cha. Gimana pun keadaannya, Om Bram tetap Papa lo." Daren mencoba memperingatkan.

"Gue nggak punya Papa yang brengsek kayak dia, Ren." Acha menyangkal sembari menatap tajam ke arah Daren. Seolah sebutan 'Papa' membuat Acha muak sekarang ini.

Daren menunduk. Tidak menyangkal apapun lagi. Takut jika ucapannya nanti hanya akan membuat Acha tertekan.

"Ren..."

Daren menoleh pelan ke arah Acha. Tampak penasaran dengan apa yang akan diucapkan gadi itu.

"Kenapa, Cha?"

"Gue... pengen pizza." Acha mendesis pelan. Daren mendengus lalu geleng-geleng kepala.

Cewek ini...

"Tadi pas berangkat sekolah lo baru makan satu cup pizza, Cha," sangkal Daren mengingatkan.

"Tapi itu kurang, Ren." Acha memperlihatkan raut wajah polosnya di sana.

Daren mendengus pelan. Acha memang benar-benar sangat menyebalkan untuknya, "Yaudah, kita beli pizza sekarang. " dari pada nantinya Acha sedih lagi, Daren lebih memilih untuk menuruti kemauan Acha. Mungkin dengan memakan pizza... akan mengembalikan mood Acha yang berantakan.

Daren tersentak. Langkahnya terhenti saat ia hendak berjalan ke arah mobil. Daren menoleh ke belakang. Merasa Ada yang aneh.

"Cha, kok lo masih diem? Jadi beli pizza, nggak?" tanya Daren mendecak kesal.

"Hm..." Acha menggumam pelan. "Gendong ..." Acha memasang wajahnya yang paling imut. Memperlihatkan bahwa ia benar-benar mengharapkan jawaban 'iya' dari Daren.

"Jalan sendiri napa sih?" Daren membuang muka kesal.

"Mager."

Daren mendengus. Memasang wajah datar. Selanjutnya Daren berjalan ke arah Acha lalu menggendong gadis itu sesuai dengan permintaannya tadi.

"Gue cinta sama lo, Daren ..." Acha berlendetan manja sembari mengelus-eluskan pipinya pada dada bidang Daren.

"Gue enggak!"

***

FRIENDSHIT [TAMAT]√Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum