75 | Patah

943 70 12
                                    

Tok tok!

Acha mendecak kesal saat mendengar seseorang terus-terusan mengetuk pintu kamarnya tanpa henti. Kekesalan gadis mungil itu bertambah saat ia kesulitan mengaitkan kancing baju bagian belakangnya.

"Sabar, ngapa?!" Acha mendecak kesal sembari melangkah menuju ke arah pintu kamar. Meraih kenop pintu lalu menariknya pelan. Menatap datar wajah seseorang yang berdiri tepat di ambang pintu kamarnya.

"Gile, cantik bener..." Daren memekik keras sembari mengacak-acak rambut Acha yang sudah rapi.

"Elah, baru juga sisiran." Acha mendengus.

"Yaudah sih, tinggal sisir lagi aja." Daren nyengir kuda. "Gue kira lo lagi ngebo."

"Ya nggak lah, bego! Gue nggak mungkin lupa kalo malam ini adalah malam party perpisahan di sekolah. Nggak segila itu untuk gue ngelupain acara penting ini." Acha masih memasang wajah kesal. Daren benar-benar mengganggunya.

Selanjutnya Acha menempati kursi meja rias. Sementara Daren menduduki ujung ranjang hampir berada tepat di belakang Acha. Daren melihat wajah Acha melalui cermin yang berada di hadapan mereka. Acha meraih sisir, lalu menyisir rambutnya sendiri, hingga akhirnya kembali rapi.

"Selesai." Acha meletakkan sisir tersebut kembali di tempat semula. Lalu membalikkan badannya ke arah Daren. "Lo udah siap?"

Daren mengangguk pelan, "Udah, Cha."

"Mau langsung berangkat apa gimana?" tanya Acha.

"Tunggu Citra dulu, ya?" ucap Daren menyangkal.

Acha diam sembari mengangguk.

"Sekarang lo bener-bener udah nggak sungkan lagi pacaran di depan gue, Ren. Gue harus gimana? Gue nggak yakin kuat."

Sulit untuknya menerima kenyataan. Acha benar-benar tidak tau bagaimana keadaan hatinya di dalam sana. Mungkin telah lapuk karena termakan kekecewaan hampir di setiap waktu. Menahan rasa sakit yang tak urung menyergapnya hampir setiap saat. Itu bukanlah suatu hal yang mudah. Memang faktanya, cinta sahabat itu menyakitkan.

"Cha?" Daren menepuk pundak Acha pelan saat mendapati gadisnya itu hanya diam saja.

"Eh, iya?" Acha terlonjak kaget.

"Lo kenapa?" Daren bertanya heran. "Kok bengong?"

Acha mencoba untuk tersenyum. Menutupi segala luka yang berada di ruang lingkupnya, "Nggak kok, Ren. Nggak pa-pa."

"Oh, iya. Sore tadi Salma ngapain nemuin lo? Tumben banget?" Daren bertanya heran. Karena memang Salma sempat datang mengunjungi Acha sore tadi. Namun Daren tidak dapat mendengar pembicaraan mereka karena Acha melarangnya.

"Oh, Salma nanyain soal butik Mama. Katanya Salma mau mesen banyak baju untuk acara keluarga." Acha menjawan santai. "Berhubung Mama nggak ada, ya gue aja yang ladenin."

"Kok gue nggak boleh ikutan nimbrung?" Daren mendecak.

"Ya ngapain?" Acha menatap Daren heran. "Nggak begitu penting juga, kan?"

"Iya deh iya..."

Kling.

Suara ponsel Daren memecah keheningan di kamar tersebut. Selanjutnya Daren langsung meraih benda pipih persegi panjang tersebut yang terletak di dalam saku celananya.

"Citra udah siap. Kita berangkat sekarang aja." Daren mengambil posisi berdiri.

Acha mengangguk sembari ikutan berdiri.

"Elle mana?" tanya Acha mengingat keberadaan Kakaknya itu.

"Elle udah berangkat duluan. Katanya dia mau jemput Andi dulu," jawab Daren sekenanya.

FRIENDSHIT [TAMAT]√Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt