12 | Hancur

1.7K 141 0
                                    

"Ren, berhenti!" Acha memaksa turun dari gendongan Daren saat matanya menangkap sebuah objek yang sangat dikenalnya.

Daren mendelik heran. Perlahan ia mencoba menurunkan Acha. Daren mengikuti penglihatan mata Acha yang mengarah ke satu sisi. Daren menyipitkan matanya untuk melihat dengan lebih jelas sosok yang berada di hadapannya dengan jarak lumayan jauh.

"Om... Bram?" Daren membulatkan matanya saat ia menyadari siapa orang yang dilihatnya itu.

Daren melemparkan pandangannya ke arah Acha. Gadis itu hanya diam pada pijakannya. Tatapan Acha berubah sendu. Daren merasa iba melihat raut wajah Acha saat ini.

"Cha..."

"Yuk, ke kelas." Acha menarik pergelangan tangan Daren saat orang yang tengah diperhatikannya, balik memperhatikannya pula. Acha benar-benar tidak ingin berdiri lebih lama pada pijakannya saat ini. Yang ada itu hanya merusak suasana hatinya.

"Acha!"

Sedikitpun Acha tidak berniat untuk menghentikan langkahnya saat mendengar namanya terus-terusan diteriakkan dalam bentuk sebuah panggilan. Acha tidak menyukai panggil itu. Oh, ralat. Acha bukan tidak menyukai panggilannya, tapi Acha tidak menyukai orang yang memanggilnya. Acha benar-benar tidak menyukainya. Justru, Acha membencinya, bahkan sangat membencinya.

"Acha, tunggu!"

Acha menghentikan langkahnya saat ia mendapati seorang pria paruh baya yang berdiri tepat di hadapannya--bermaksud untuk menghalanginya.

Acha melangkah ke kanan, namun pria tersebut juga mengikuti arah langkah Acha. Acha beralih ke kiri, namun lagi-lagi pria ini mengikutinya. Acha geram sekaligus marah.

"Minggir." Acha memperlihatkan raut wajah datar tanpa menoleh ke arah pria yang sekarang ini ada di hadapannya.

Daren yang saat ini masih berada di sebelah Acha, hanya membungkam. Daren tidak berani membuka suara. Pria ini lebih memilih diam, tidak berniat merusak suasana yang saat ini benar-benar sudah rusak.

"Acha... tolong dengerin Papa dulu. Tolong kasih Papa kesempatan untuk bicara sama Acha..." pria itu memohon lirih. Memperlihatkan raut wajahnya yang paling sedih.

Acha menyunggingkan senyuman miring. Memaksakan menoleh ke arah pria tersebut. Sedikit pun Acha tidak kasihan melihat pria itu. Hati Acha sama sekali tidak goyah ataupun luluh melihat permohonan pria itu. Acha jengah. Bagaimana pun pria itu memohon, tidak akan pernah Acha mau mendengarkannya ataupun merespon kehadirannya.

"Gue nggak kenal sama lo," ucap Acha datar.

"Acha, ini Papa, sayang..." ucapnya lirih.

"Sorry..., tapi gue nggak punya Papa yang brengsek kayak lo." sangkal Acha menahan emosinya yang sudah mengepul di ubun-ubun.

"Sayang, ini Papa. Kenapa Acha tega bilang kayak gitu ke Papa, Nak?"

"Stop lo akuin diri lo sebagai Papa gue. Papa gue udah mati." sentak Acha emosi.

Daren ingin menyangkal, namun Daren sadar ini bukanlah saat yang tepat untuknya ikut campur.

Plak!

Sebuah tamparan mendarat pada pipi Acha. Kepala Acha terhuyung paksa ke kanan. Acha diam menahan rasa perihnya. Acha meringis kesakitan di dalam batinnya tanpa memperlihatkan langsung. Acha memejamkan matanya. Menikmati sensasi tamparan dari orang yang sangat dibencinya. Menikmati setiap denyutan nyeri pada pipinya yang kini bermotifkan telapak tangan Bram.

"Kamu jaga ucapan kamu, Acha!" emosi Bram meledak setelah mendengar ucapan Acha beberapa detik yang lalu. Bram murka mendengar ucapan Acha yang terdengar kurang hajar itu.

Siswa-siswi yang ada di sekitar mereka, ikut menyaksikan pertengkaran tersebut dari jauh.

"Om! Om jangan kasar sama Acha Om!" Daren angkat bicara setelah sekian lama ia diam pada pijakannya.

"Diam, kamu!" Bram menyahut kasar. "Jangan ikut campur urusan saya dengan anak saya!"

"Maaf Pak Bramantya yang terhormat. Mungkin saya bukan siapa-siapa di keluarga besar Om. Tapi Acha... Acha adalah segalanya untuk saya. Saya tidak akan segan-segan melakukan tindakan kasar kepada siapapun yang menyakiti Acha. Termasuk Om sendiri!" tegas Daren dengan matanya yang memerah.

"Bocah ingusan!" Bram mendecih pelan. "Nggak tau malu!"

"Lo yang nggak tau malu!" gertak Acha menunjuk kasar wajah Papanya. "Pergi lo dari sini!"

"Acha, kamu ini benar-benar tidak mempunyai sopan santun, ya?! Ini adalah Papa kamu! Bisa kamu hargai sedikit aja?!" Bram tampak murka dengan perlakuan anaknya.

Acha tersenyum miring. Melemparkan pandangannya ke arah lain. Lalu kembali menoleh kearah sang Papa dengan wajah yang memerah menahan amarah.

"Menghargai? Lo minta dihargai?" Acha mendesis pelan namun cukup jelas. "Laki-laki kayak lo nggak pantes untuk dihargai, lo paham?!"

Tes.

Setetes bening air mata terjatuh dari kelopak mata Acha dan membasai pipinya lembut. Acha sudah tidak kuat menahan tangisnya. Sebisa mungkin Acha menahan tangisnya sejak tadi, namun Acha gagal. Acha tidak cukup kuat untuk menahan semuanya.

"Pa..." Acha mendesis pelan, disertai dengan tetesan air mata selanjutnya yang mengalir lembut. "Dulu Acha pernah sayang sama Papa. Dulu Acha pernah sangat sangat sayang sama Papa. Dulu Papa pernah menjadi pria terbaik di hidup Acha. Dulu Papa pernah jadi superhiro terbaik di dunia buat Acha..." jeda. "Tapi itu dulu, Pa. Sekarang? Rasa sayang Acha tergantikan dengan rasa benci sedalam-dalamnya untuk Papa."

"Acha..."

"Papa tau? Gimana remuknya Acha waktu Papa pergi ninggalin Acha sama Mama? Papa tau? Gimana hancurnya Acha ngeliat Mama sedih setiap hari karena kehilangan Papa? Enggak kan? Papa nggak tau kan?" Acha memberi jeda. "Sekarang, jangankan untuk nyembuhin luka itu, nganggep Papa ada aja rasanya Acha udah muak. Acha udah nggak mau lagi berurusan sama Papa. Acha udah nggak punya Papa lagi semenjak sepuluh tahun yang lalu..."

"Acha, dengerin Papa-"

"Lo bukan Papa gue!" sentak Acha. "Gue nggak punya Papa! Papa gue udah mati!"

Acha menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Acha benar-benar sudah tidak sanggup menahan semuanya. Acha sudah terlalu sakit. Sudah terlalu dalam luka yang diberikan secara paksa oleh orang yang sangat disayanginya.

Daren mencoba mengelus-elus pelan bahu Acha untuk menenangkannya. Tangis Acha sulit untuk terhenti. Justru, isakannya terdengar semakin jelas.

"Papa ngapain di sini?" suara seorang gadis mengagetkan mereka.

Kompak Acha, Daren dan Bram menoleh ke arah sumber suara. Tangis Acha berhenti sesaat setelah melihat wujud gadis tersebut. Kenal, Acha sangat mengenalnya.

"Kiena?" Daren mendesis pelan. Tidak percaya dengan apa yang dilihat dan didengarnya.

"Papa anterin buku paket kamu yang ketinggalan di rumah." Bram menyahut pelan.

Acha melemparkan pandangannya ke arah Bram tidak percaya, "Papa?"

Bram menunduk sendu. Tidak memberikan jawaban atau respon apapun.

"Bahkan gue nggak pernah ngerasain sakit yang lebih dari ini..."

***

FRIENDSHIT [TAMAT]√Donde viven las historias. Descúbrelo ahora