My Boss! 22

24K 1.8K 88
                                    

"Raden Rara, dipanggil Raden Ayu suruh menemui di taman belakang."

Aurora yang baru selesai menyusur rambutnya kini menoleh lalu tersenyum.

"Jangan panggil saya Raden Rara, saya bukan lagi keturunan ningrat, mbok. Panggil biasa aja ya."

Perempuan tua yang biasa di panggil mbok  Lastri itu menggeleng. "Masih ada darah keraton dalam dirimu, nduk. Kamu mirip sama ibumu, cantik, baik, dan tidak sombong."

Aurora tertawa kecil lalu mendekati mbok Lastri. "Aurora nakal mbok, pecicilan."

Lastri tertawa pelan lalu mengajak Aurora untuk segera menemui eyang putri.

Raden Rara merupakan gelar yang diberikan kerajaan untuk generasi perempuan kelima ke bawah (wareng), namun karena ibu Aurora yang memilih untuk memisah dari keluarganya, maka Raden Rara tidak lagi disematkan pada namanya. Sebagai bentuk penghormatan ibu Aurora terhadap keturunannya, maka Raden Rara yang seharusnya gelar untuk Aurora diganti Laudya Aurora, yang ternyata bukan tanpa alasan mengapa orang tua Aurora dan kakaknya memanggilnya dengan sebutan 'Rara'. Semua cerita itu tak pernah disembunyikan oleh orang tua Aurora dan Aurora mengetahui hal itu.

"Nduk." Sapa eyang putri melihat kedatangan Aurora

Aurora menegang di tempatnya, ia tak berani berkutik ataupun bersuara saat menyadari bahwa di taman belakang tidak hanya ada eyang putri, tapi juga eyang kakung -- Raden Mas Tjokro Hadiningrat.

Pria yang mengenakan pakaian khas keraton dengan blangkon yang terpasang rapi dikepalanya itu duduk di sebelah eyang putri yang mulai beranjak mendekati Aurora karena gadis itu nampak ketakutan tak berani mendekat.

"Ayo duduk sini, eyang mau ngobrol sama kamu."

Aurora menurut kaku lalu duduk di sebelah eyang putri dengan kepala yang terus tertunduk.

"Begini cara ibumu mendidik anaknya? Ndak punya sopan santun, Ndak ngerti cara beretika dengan baik."

Aurora terkesiap mendengar ucapan Raden Mas Tjokro. Gadis itu mendongak lalu menatap eyang putri yang menghela nafasnya. Demi apapun, Aurora tak mengerti apapun aturan bangsawan termasuk 'etika' yang tadi eyang kakungnya sebut.

"Sana, sungkem dulu sama eyang Kakung." Bisik eyang putri

Aurora bergeser lalu menundukkan badannya untuk sungkem pada eyang Kakung dengan ragu karena takut eyangnya menolak, tapi ternyata Aurora salah, eyang Kakung membiarkan Aurora mencium tangannya dan malah mengelus rambutnya yang terurai dengan lembut.

"Sudah sana, minta ajarin eyang putri cara menyanggul rambut."

Aurora mendongak dan tersenyum lalu mengangguk, "enjeh eyang. Terimakasih sudah mau menerima Aurora."

Eyang Kakung hanya berdehem dan pergi begitu saja setelah Aurora kembali duduk di tempatnya.

"Tuh kan, eyang kakung ndak bisa marah sama kamu. Dia hanya gengsi." Ujar eyang putri lembut.

"Rara sudah takut eyang, apalagi tadi eyang Kakung bilang Rara gak punya etika."

"Itu karena eyangmu cuma pengen kamu sungkem , tapi malu mau nyuruh langsung." Jelas eyang putri.

Aurora mendesah lega, lalu menerima cangkir teh pemberian eyang putri, matanya dimanjakan oleh pemandangan asri taman di depannya dengan udara sejuk yang hampir tak pernah ia rasakan saat di Jakarta.

"Kamu pamit sama ibumu kalau kesini?"

Aurora langsung menoleh "A-anu eyang, Rara..."

Eyang putri masih menatap cucunya dengan lembut "hmm?"

My Boss!Where stories live. Discover now