1. Rumah Lama

7.3K 537 12
                                    

Kembali pada 5 tahun sebelum pernikahan, pada lika-liku perjalanan karir militer yang melelahkan, dan kisah cinta yang semakin rumit. Kisah Sena-Yudha? Itu hanya masa lalu. Sekarang kisah itu hanya kenangan dalam sebuah memori yang menyebalkan.

Di rumah kenangan, di perbatasan Karanganyar dengan Sukoharjo, dengan furniture yang masih sama, hanya ada tambahan satu dua kursi kecil dan patung saja, rumah yang dulunya sangat menyenangkan. Sena mengetuk pintu dengan wajah lesunya, berpakaian dinas hijau polos, sepatu pantofel, rambut pendek, make up tipis dan sisa mata sembabnya.

"Ah lama ah!" sambar seorang Taruna berseragam cokelat, membuka pintu begitu saja.

"Eh, salam dulu kali, Dik!" ketus Sena.

"Assalamualaikum, Mama, Kak Obes, Kak Ria!" pekik Adhit nyelonong begitu saja.

Ya memang rumah dengan cat putih abu-abu ini dulu menjadi tempat Gibran dan Agni membesarkan putra dan putrinya. Melewati masa sulitnya hingga harus kehilangan suami tercinta. Semua kenangan itu ada di rumah yang kini menjadi tempat tinggal Agni bersama Obes dan Ria, juga cucu berkulit cokelat yang menggemaskan, rambut keriting menambah kelucuan.

Sena menghembuskan napas, berjalan pelan masuk ke dalam rumah, dan semua gambaran masa remajanya begitu jelas. Disambut foto keluarganya di dinding sebelah kiri ruang tamu. Menghentikan langkahnya, menatap foto almarhum Papanya.

"Seandainya Kak Yudha itu seperti Papa, laki-laki yang hanya akan mencintai satu perempuan lagi selain Ibunya, bukan semua perempuan dibuat baper olehnya!" kesalnya melangkah masuk dan semakin masuk.

Semakin melangkah, semakin dekat ia dengan perempuan berdaster batik, berkerudung mocca, wajah berkeriput, mengenakan kacamata dan masih dengan buku biografi Bung Hatta. Agni, Mamanya yang memilih kembali pulang ke Karanganyar beberapa bulan yang lalu setelah ikut Sena ke Semarang. Ia letakkan tas di punggungnya, berdiri bersama dengan Adhit di depan pintu perpustakaan mini.

"Mama pasti kesepian kan, Kak. Nggak ada satupun anaknya yang menetap di rumah. Semua diambil negaranya," kata Adhit dengan mata berkaca-kaca.

Obes di SatBrimob, Istrinya di DKT Slamet Riyadi, Sena di Kodam IV/Diponegoro, dan Adhit masih menempuh jalur pendidikan di Akmil. Agni di rumah hanya bersama cucu yang setiap siang memilih tidur daripada sekedar bercerita dengan neneknya.

"Ma, udah dong bacanya. Anaknya pulang nih," kata Sena melangkah masuk, menggenggam tangan kanan Mama. 

Mama menoleh, tersenyum. "Eh, baru datang melati Mama." Memeluk Sena penuh dengan kebanggaan dan kasih sayang.

"Terus Adhit apa kalau Kak Sena melati Mama?" sambar Adhit dengan candaannya.

"Cebongnya Mama!" celetuk Sena sambil menahan tawa.

Adhit hanya memicingkan matanya.

Ruangan sempit penuh dengan buku ini menjadi tempat meleburnya rindu, terjawabnya kekhawatiran dan menghangatnya kasih sayang.

"Ndak pulang sama Yudha, Kak?" tanya Mama membuat Sena terdiam, menutup lebar senyumnya.

Setiap kali pulang, entah sehari atau dua hari, entah satu jam atau dua jam, jika ada Sena maka ada Yudha. Seperti dua sejoli yang tidak akan terpisahkan, nama yang jika dipasangkan cukup serasi Sena Yudha.

Sena menggeleng. "Sena putus sama Kak Yudha, Ma."

"Ha?" Adhit seolah yang paling kaget, tapi bukan kaget karena putusnya, ini sudah terjadi berulang kali. "Lagi? Ini pacaran apa main layangan sih? Putus, dikejar, disambung lagi, putus, dikejar, disambung lagi!"

AsmaralokaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora