33. Sialnya Adhitakarya

3.1K 425 64
                                    

Di kampus, Sena yang mendengar 2 rekan sejawatnya gugur hanya mampu diam, tetapi pikiran dan hatinya bergejolak. Mata boleh saja pada dosen di depan kelas, tetapi pikirannya seolah telah sampai Papua dan melihat gambaran kejamnya baku tembak. Matanya panas namun tak bisa mengeluarkan air hangat dari ujungnya. Sebagai tentara, bukan tidak mungkin dia tahu semuanya meskipun bukan dia yang diberangkatkan. Jika media pasti mengekspos semua kabar tentang misi di daerah konflik ini, sudah pastilah Sena mengetahui semuanya lebih dulu dibandingkan yang lain.

Telegram yang diatur sebagai grup rahasia sering kali menyebarkan berita lebih dulu dibandingkan media yang biasanya mengambil berita dari laman-laman militer. Lalu melebih-lebihkan berita seolah sebuah berita dari medan perang adalah drama Korea yang alurnya dapat dikembangkan.

Sena mencengkram erat bolpoin di tangannya, ditemani suara perutnya yang begitu nyaring. Dia belum makan sejak sarapan tadi pagi. Dengan dalih tidak ada waktu untuk makan siang, dia sedikit menyiksa janinnya yang tumbuh di dalam rahim.

Menjelang malam, kelas telah selesai, waktunya pulang bersama sepada motor matic warna hitam. Menyusuri jalanan kota Semarang seolah dia baik-baik saja. Hujan pun lagi-lagi memudarkan tangisnya. Di saku celana dinasnya, ponsel android miliknya bergetar berulang kali, namun diabaikan.

Sementara di rumah dinas, tiga orang nampak khawatir di ruang utama, mengadu jari-jarinya mereka. Kecuali Adhit yang sibuk menelepon sang kakak.

"Kamu jangan diam saja dong, Dik!" seru kedua Mama sudah emosi menatap Adhit.

"Mama, Tante, ini aku lagi teleponin Kak Sena. Diem aja gimana?" Adhit juga sedikit terpancing.

Meskipun selalu bertengkar, Sena tetaplah Kakaknya, tetaplah merasa khawatir jika hujan lebat begini, angin kencang dan Sena belum pulang.

"Susulin sana ke kampus!" perintah Mama Hani.

"Su, susulin?" tanya Adhit terbata.

"Iya!" Dua Ibunda itu kompak.

"Pakai apa? Adhit ke sini saja naik travel.  Jalan kaki?"

"Iya, kalau perlu!" Mama lebih kejam lagi.

Adhit menghela napas. "Iya, Adhit cari pinjaman motor ke sebelah rumah."

"Gitu dong, Dik!" Lagi-lagi kompak.

Adhit keluar mencari pinjaman motor, dapat, sudah pastilah dapat, diperkuat dengan kenyataan bahwa dia tentara juga, adiknya Sena pula. Hanya saja, hidup Adhit seolah dipenuhi kesialan. Tidak ada jas hujan yang dapat dipinjam.

"Ma, nggak ada jas hujan," kata Adhit berlari ke teras, menghampiri dua ibu yang semakin gelisah. Hari sudah gelap.

"Nggak usah pakai jas hujan, Dik. Memangnya kalau kamu pendidikan, kehujanan di tengah jalan nyari jas hujan juga?" balas Mama.

"Mama yang dulu bukanlah Mama yang sekarang," gumamnya berlari lagi ke rumah tetangga. Tetap meminjam motor dan pergi tanpa jas hujan sama sekali.

Dengan motor bebek, Adhit menyusuri jalanan Semarang menuju Unnes, terhitung cukup jauh, tapi mau bagaimana lagi. Beasiswa yang ditawarkan memang dari universitas tersebut. Jalanan yang terang oleh lampu, namun terasa gelap oleh lebatnya hujan. Sesekali Adhit berhenti untuk menelepon sang kakak, namun tetap saja tidak ada jawaban.

"Duh, Kak!" jerit Adhit di bawah pos polisi, berhenti kembali untuk menelepon lagi, dengan tetap nihilnya jawaban.

Hingga jam mendekati pukul 21.00 WIB, seharusnya Sena sudah sampai rumah sejak tadi, jika di jalanan saja tidak ada. Tapi belum juga ada telepon dari Mama Hani dan Mama Agni yang mengabarkan Sena sudah sampai. Adhit terus saja mengendarai dengan pakaiannya yang basah kuyup dan ponsel yang terbungkus plastik "es batu".

Asmaralokaحيث تعيش القصص. اكتشف الآن