52. Narasi

3.2K 448 53
                                    

"Kamu ngapain bolak balik ke kamar mandi dari tadi, Dik?" tanya Yudha keluar dari kamarnya. Terbangun karena sang istri tidak lagi ada di sebelahnya.

Sena menggeleng, lalu masuk lagi ke kamar mandi.

Cukup lama Yudha menunggu di depan pintu kamar mandi, dengan matanya yang sesekali menutup, sesekali terbuka.

"Mas, perutku mules, tapi tidak bisa buang air besar. Rasa-rasa tidak kurang-kurang sayur dan buahku. Kok bisa susah buang air besar begini?" ujar Sena keluar dari kamar mandi.

"Mulesnya gimana? Rasa pengen buang air besar biasa, apa diare?"

"Biasa sih, tapi nggak tahu lah, aneh."

"Kamu coba sekali lagi."

Sena mengangguk dan menuruti suaminya.

Bukankah kedua pasangan ini terlalu polos? Apakah karena mereka hanya fokus pada menjaga dan tidak begitu fokus pada persiapan setelah mengandung? Atau negara memaksa mereka sibuk, lalu mereka abai terhadap tanda-tanda? Oh, mungkin juga mereka benar-benar polos dalam hal ini.

"Nggak bisa, Mas. Malah makin mules," kata Sena sesaat setelah keluar lagi dari kamar mandi.

"Kamu ganti baju dulu lah, kita ke rumah sakit."

Sena mengangguk.

Mereka berganti pakaian, dan menunggu sekejap mobil baru mereka sedang dipanaskan, maksudnya bukan dibakar, tidak perlu diperdebatkan. Orang pintar tahu maksudnya.

"Makin mules, Mas," keluh Sena menunggu mobilnya siap.

Yudha mengusap kepala Sena. "Sudah Mas duga kamu lupa pakai jaket," menutupkan jaket tebalnya ke punggung Sena.

Perjalanan ke rumah sakit, Sena terus menghela napas, karena perutnya semakin sakit saja rasanya.

"Sayang?"

"Dalem?"

"Jangan-jangan kamu mau melahirkan."

Sena menoleh. "Masih 8 bulan tapi... Ayo ngebut aja, Mas!"

Yudha menggeleng. "Jalanan bergelombang, Sayang. Bahaya."

Sepanjang jalan yang lengang, Sena semakin kalut. Sebab belum waktunya, bagaimana jika terjadi sesuatu? Semacam yang sebelumnya mungkin. Tidak sanggup bertahan. Namun Yudha selalu bisa menenangkan istrinya. Digenggamnya tangan Sena, memberi kekuatan dan senyum di balik remang lampu jalanan.

Sesampainya di rumah sakit, Yudha langsung menggotong Sena masuk ke ruang UGD dan menjelaskan kondisi istrinya pada dokter jaga. Dan ya, setelah memeriksa dokter mengatakan Sena kontraksi, akan melahirkan hari ini. Sena pun langsung dipindahkan ke ruang bersalin.

"Mas," panggil Sena, ketika suaminya sedikit berpaling.

Sungguh, melihat Sena kesakitan sepanjang waktu, dan menitikkan air mata, membuat Yudha tidak kuasa menatapnya. Tetapi bagaimanapun, menemani istri melahirkan adalah tugas suami.

Sepanjang jam Sena berjuang, terhenti di pembukaan ketiga dan bayi masih belum berusaha untuk keluar.

Lihatlah, fajar baru saja datang dari ufuk timur, mengiringi jerit kesakitan. Hangatnya seolah menggenggam, mendekap memberi ketenangan. Namun jerit tetaplah jerit lampias rasa sakit.

Semarang, satu bulan setelah hari kasih sayang. Desah sesembahan, jerit permohonan terlontar meski hanya seekor semut yang mampu mendengar. Banjir melanda, tidak peduli tempat alirnya belum dinormalisasi. Tidak peduli pula jika jalannya minim daerah resapan.

AsmaralokaWhere stories live. Discover now