53. Tak Kunjung Kembali

3.3K 464 45
                                    

Pemerintah Indonesia masih sibuk menyindir pemerintah Malaysia, perihal RI yang menunggu balasan surat permintaan maaf secara resmi. Prajurit pamtas tetap disiagakan, maksimal waktu siaga adalah satu bulan, dan ini terlewat dua Minggu. Seharusnya, Malaysia sudah mengirimkan surat permintaan maafnya, toh semudah itu sebenarnya Indonesia mau menerima.

"Ndan, ini kalau kita beneran perang, gimana coba? Sudah deg-degan," keluh Anjar.

"Jangan lah. Mau di bawa ke mana bumi ini kalau dunia saling berseteru? Jangan doa yang macam-macam."

Hening.

"Ndan, izin bertanya." Danang memecah hening.

"Apa?"

"Bu Guru nggak balik lagi, Pak? Perasaan sekolah sini diliburkan hanya dua Minggu, itu juga karena guru utamanya memilih pulang. Kalau guru semua pulang, gimana? Anak-anak tidak ada yang mengajar. Mereka berangkat sekolah hanya untuk bermain, kadang kala saja kita ada waktu, kita bisa mengajar mereka."

Itulah yang menjadi kegelisahan Adhit selama ini. Guru utama yang berstatus PNS sepertinya memilih untuk melepas jabatannya, maksudnya PNS-nya. Dari desis yang terdengar memang tidak tahan dengan kehidupan di sini, terpencil, jauh dari hiruk pikuk. Terkadang malah mendengar gaduh suara tembakan karena ada penyelundupan, penyusup dan lain sebagainya. Ya, siapa yang mau hidup dengan ketidaknyamanan semacam itu?

Ia juga khawatir tentang kelangsungan pendidikan anak-anak di sini, meskipun dari yang terdengar, akan ada guru baru namun menunggu bulan depan. Ayara yang menjadi relawan saja tidak kembali, mungkinkah orang-orang kota itu benar-benar mau datang ke mari?

"Apa Bu Guru Cantik tidak betah juga tinggal di perbatasan, Ndan?" Anjar juga sedikit ingin tahu.

Adhit masih diam. Ayara selalu riang di sini, katanya, mengajar di perbatasan adalah mimpinya. Tidak mungkin alasan Ayara tidak kembali karena dia merasa tidak betah. Toh dia pernah KKN di sini, dan bahkan dia kembali lagi ke sini. Adhit mulai berpikir lebih jauh. Dan dia menemukan jawaban serta kenyatannya.

"Ayara mungkin sudah menikah."

" Hah?" Anjar dan Danang kompak.

Adhit mengangguk. "Bukannya kalian dengar waktu dia pamitan?"

Danang dan Anjar berusaha mengingat. Tapi tidak ingat. Sebab sebelumnya mereka memang terlelap, lalu terbangun sudah mendengar sebagian ucapan Komandannya.

"Ya, intinya dia mengatakan akan kembali, kecuali kalau dia dinikahi."

"Wah, patah hati dong, Ndan?" tanya Anjar.

"Siapa?"

"Komandan lah!" Danang dan Anjar kompak.

"Tidak, memangnya ada hubungan spesial apa antara aku dan Ayara?"

"Oh iya, ya." Lagi-lagi kompak.

"Kirain gitu, Ndan. Ada rasa yang diam-diam saja."

Adhit mengerlingkan matanya lalu masuk ke dalam pos. Berulang kali dia mengecek ponselnya, tidak ada pesan sama sekali. Bukan karena sinyal menghilang, semua pesan grup bisa masuk kok. Yang ditunggunya ialah pesan dari Ayara. Bagaimana bisa dia tidak menghubungi Adhit, padahal dia meminta nomor ponsel Adhit sebelum pulang. Apakah tidak disimpan? Dihapus?

"Sihhhh!" desis Adhit kesal. "Bukan rindu, tapi apa maunya meminta nomorku tapi tidak menghubungiku?" gumamnya.

"Kan dia sudah menikah, Ndan. Masa mau menghubungi laki-laki lain?" seru Anjar menampakkan kepalanya saja di pintu pos.

Adhit langsung memukul kepalanya dengan buku setebal 200 halaman ke kepala Anjar. "Setidaknya kalau dia menikah, ya, kasih tahu lah! Kan kita saling kenal gitu." Sedikit dengan bau-bau gas 3 kg.

AsmaralokaWhere stories live. Discover now