46. Dijual "Harga Diri Diskon 99%"

3.5K 473 67
                                    

Adhit masih berpikir keras tentang semua kalimat Ameera dan Alina, sedikit lupa dengan perkataan Ayara tentang niat jatuh cintanya. Agaknya dua perempuan yang lebih dulu ada di sekitarnya cukup mengganggu. Dia tidak menyangka Alina bisa menanggapi sedewasa itu. Tetapi begitulah hati yang patah biasa memukul pemiliknya, menampar keras, memberikan banyak pelajaran untuk lebih dewasa dari sebelumnya. Patah adalah saat di mana kita harus belajar banyak hal. Bukan kah seharusnya begitu?

Besok pukul 08.00 WIB, dijadwalkan Ameera menikah di salah satu masjid di Surabaya. Dihadiri banyak kerabat dan tamu undangan. Berbagai kalangan pejabat hingga kelas menengah. Bahkan Sena dan Yudha, Mama dan Kak Obes, berikut Om Bagas pun berangkat ke Surabaya memenuhi undangan.

Di Entikong masih patah, di Semarang banyak senyum merekah. Kehadiran janin kedua di antara Sena dan Yudha sedikit banyak mengubur luka yang pernah ada. Nyawa baru itu pula membuat Sena sangat berhati-hati sekarang, pola hidup sehat, olahraga ringan yang teratur, berangkat kerja diantar jemput. Yudha jadi punya dua pekerjaan, menjemput Anjar, anggotanya yang sekarang menjadi penyandang disabilitas dan juga menjemput Sena untuk memastikan keamanannya.

Butuh waktu dua tahun bagi mereka untuk mendapatkan lagi nyawa yang hilang. Butuh dua tahun untuk tersenyum dengan damai, tanpa lupa bahwa mereka pernah terluka. Kuasa Tuhan, kapan Dia membuatmu bahagia, kapan Dia harus memberikan pelajaran bagi hamba-Nya. Roda kehidupan pasti berputar. Lalu apa yang kita khawtirkan?

"Adhit nggak apa-apa kalau kita ke Surabaya?" tanya Yudha di tengah jalan mengantar istrinya.

"Memangnya kenapa?" Sena meletakkan kepalanya di bahu kanan Yudha.

"Kan yang bikin sakit hati Adhit itu Ameera."

Sena diam.

"Lagi pula, kejam sekali Ameera itu. Bagaimana bisa dia menikah begitu saja setelah membiarkan laki-laki membawa namanya dalam sujud."

"Bukankah sudah takdir Tuhan demikian sebelum kita terlahir, Mas? Seperti anak kita, bukankah sudah kuasanya sebelum dia terlahir juga? Bukankah semua takdir Tuhan sudah ditentukan ketika nyawa kita ditiupkan? Bukankah begitu?"

Yudha tertegun oleh ucapan istrinya. Rasa sakit memang memberikan banyak pelajaran bagi penerimanya.

"Kemarin Adhit telepon, tapi terpotong karena kabar bahagia kita, mungkin kamu harus meneleponnya, Dik."

Sena mengangguk. "Siap, Bos!"

Sampai di kantor, apel pagi, kembali dengan rutinitas, Sena sempatkan menelepon Adhit, mumpung masih ada waktu. Beberapa kali sempat terkendala  telepon Adhit yang tidak aktif, atau mungkin jaringannya belum ada. Baru setelah makan siang, Adhit menelepon Sena usai pesan beruntun.

"Kenapa, Kak? Baru hidup ponselnya, habis mati listrik sejak semalam."

"Kata Mas Yudha, kemarin kamu telepon tapi kepotong. Memangnya ada apa?"

Adhit menghela napasnya. "Enggak, mau ngucapin selamat aja, Kak. Hati-hati ya, dijaga, jangan cuma mikirin diri sendiri."

"Iya, Dik. Siap! Kakak belajar banyak hal kok."

"Ya, semua orang belajar dari rasa sakit. Hanya aku yang tidak."

Sena diam sejenak. "Kamu hanya perlu waktu. Kakak juga perlu waktu, kan?"

Adhit diam.

"Butuh telinga?"

"Kemarin Ameera menghubungi Adhit, Kak. Dia nangis-nangis inget sama Adhit katanya, atau mungkin dia hanya merasa bersalah. Dia mikirin Adhit terus, ya, katanya sambil nangis-nangis pokoknya," cerita Adhit sedikit sesak.

AsmaralokaNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ