5. Sepulang Misi

4.4K 478 9
                                    

Suara ketukan kaki pada lantai ruangan menandakan ketidaksabaran, menandakan kegelisahan, dan menandakan kepanikan. Padahal di depan sepasang matanya ada puluhan orang yang tengah sibuk mengerjakan soal-soal psikotes. Calon-calon Tamtama yang ingin mengabdikan dirinya pada negara ini, meninggalkan masa mudanya yang menyenangkan demi pedihnya pengabdian.

Berulang kali, wanita TNI dengan seragam dinas hariannya itu menatap tak sabar ke pergelangan tangannya, ada jam melingkar indah di sana. Sesekali mendesah kesal, bukan pada dirinya sendiri, tapi menyalahkan pendaftar yang lama mengerjakan. Padahal sejatinya bukan pendaftar yang salah, hatinya yang salah, tidak memiliki kesabaran seluas samudra.

Sena, ia gelisah sebab ketidaksabarannya untuk menemui Yudha. Kekasihnya itu dijadwalkan pulang 15 menit yang lalu dari misi perdamaian dan keamanan di Papua. Meski sebelumnya kabar angin mengatakan beberapa pasukan terluka tetapi tidak dengan Yudha. Tetap saja, kabar angin, siapa yang dapat memastikan?

"Letda Sena," panggil seniornya, Lettu (K) Rini.

"Eh," Sena seperti kaget padahal itu tidak mengagetkan sama sekali. "Mohon maaf, Kak!" cukup sigap.

Rini tersenyum. "Kamu butuh bantuan saya untuk bolos dari tugas ini?"

Sebersit setan berbisik, bisa, dia bisa pergi jika dia mau. Toh Rini juga tahu betul, Sena butuh kepastian itu segera, butuh pelebur rindu itu segera.

"Saya bisa membantu, tapi maaf, dosa ketidakamanahanmu terhadap tugas, kamu semua yang tanggung. Ingkarmu kepada negaramu juga kamu yang tanggung. Walaupun saya salah, saya tidak mau disalahkan!"

Sena menelan ludahnya. Banyak benarnya, amanah tugas ini bukan hanya dari negara tetapi juga dari Allah SWT, tentu Ia Maha Melihat Segalanya. Pun tugas ini ialah janji serta sumpahnya pada negara. Bagaimana ia bisa ingkar terhadap apa yang ia janjikan?

"Mau bolos atau tidak?"

"Siap, tidak!" jawab Sena tegas, sampai salah satu pendaftar mengangkat kepalanya.

"Fokus pada tugasmu, Dik Yudha sudah punya tugasnya sendiri."

Sena mengangguk.

"Kalian boleh saling mencintai, tapi jangan lupa, kalian ini milik negara!"

"Siap!"

Mengambil napas dalam, membuangnya panjang. Kembali bertugas dengan ketidaksabaran tetapi mampu disembunyikan. Ia kurangi pandangan matanya ke arah jam, bahkan jam tangan dia lepas dan dimasukkan ke dalam saku roknya.

Berlangsung berjam-jam hingga senja menjelang, itu pun dia masih harus berkutat dengan berkas-berkas, mungkin hingga tengah malam. Sudahlah, tidak usah berharap ia bisa datang menemui, kecuali ditemui.

Sementara itu di Yonif 400/BR, pasukan misi sedang melaksanakan upacara penyambutan oleh Komandan Batalyon. Apresiasi atas keberhasilan misi dan berakhirnya waktu siaga. Misi ini bukan memerangi Papua, tetapi hadir di tengah mereka untuk meredam amarah. Terluka itu wajar, mungkin rakyat Papua juga marah kepada pihak keamanan tetapi tentara tak boleh melukai tuannya sendiri.

"Gelisah?" bisik Pras ketika upacara berakhir beberapa detik lagi.

Yudha mengangguk tepat ketika upacara penyambutan benar-benar telah ditutup.

"Izin, Bang, habis ini apa ada sambutan dari Danki?" tanya Yudha pelan-pelan pada Pras.

"Ada," jawab Pras menyembunyikan.

"Yah."

"Bercanda Danton Bucin! Ha ha ha, tunggu 15 menit lagi setelah pasukanmu selesai kembali pada keluarganya. Baru kamu boleh menemui Sena."

AsmaralokaWhere stories live. Discover now