13. Kota Tegal

3.9K 441 71
                                    

Kabupaten Tegal 3 bulan kemudian. Selamat malam, ramai sekali lalu lalang kendaraan. Terasa membahagiakan dengan kebebasan, pun dengan kabar seorang Manggala Yudha akan naik pangkat. Letnan Satu Manggala Yudha, S.Tr.Han. Sepertinya kabar buruk bagi Adhit, tapi kabar bahagia bagi Yudha, serta pengharapan bagi Sena. Dan malam ini, raut wajah Adhit tak secerah langit Kabupaten Tegal, wajar kalau akhirnya dia mendatangi konser Didi Kempot dengan tundukan kepala.

Malam Minggu yang berat baginya, mengingat tadi pagi dia mendengar sesuatu hal yang belum siap dia dengar. Apalagi kalau bukan kalimat permohonan restu dari Yudha. Tentu restu untuk melamar Sena bulan depan.

Singkatnya ini yang terjadi pagi tadi.

"Dhit, lagi di mana? Bisa ketemu di alun-alun Kabupaten Tegal nggak?" begitulah pertanyaan awal Yudha via telepon.

Adhit mengernyitkan dahinya. "Emang Bang Yudha ada di Tegal?"

Sejak Praspa, Adhit mengubah panggilannya pada Yudha. Dia lebih nyaman menyebut siapapun yang di atasnya dengan Abang.

"Iya, tadi habis latihan di Tegal. Ada waktu sebentar."

Permintaan itu diwujudkan oleh Adhit, karena memang dia pun sedang bebas tugas hari ini hingga besok pagi.

Mereka duduk di sebuah warung kecil, dengan es lemon tea dan teh hangat. Bersama beberapa prajurit Adhit yang bebas tugas juga hari ini, mereka merokok di luar warung.

"Em, gimana ya, Dhit?" ungkap Yudha memulai tujuannya.

"Apanya? Eh Abang kemarin lama di Aceh gimana, Bang? Kok bisa katanya misi dua Minggu ternyata sampai 2 bulan? Belum sempat tanya aku," mengaduk es lemon tea-nya.

Yudha mengangkat kepalanya. "Ya tugas itu kan nggak ada yang tahu. Kemarin ya karena harus negosiasi dengan kelompok separatis itu yang bikin lama. Harus lagi mengingatkan Pancasila dan Indonesia. Ya pokoknya pendekatannya lah itu memakan waktu 1 bulan. Kamu tahu lah, rakyat itu Ibu Kandung kita, kita tidak boleh melukai kan? Menghindari kontak senjata, lebih pakai cara halus saja. Meskipun ya, tetap ada kontak senjata kecil," cerita Yudha.

Adhit mengangguk-angguk. "Semoga tidak lagi untuk menghadapi kelompok-kelompok separatis semacam itu, Bang."

"Aamiin. Tapi pas begini rakyat nggak teriak kita makan gaji buta kan? Ha ha ha."

"Ha ha ha,sempit saja pikirannya. Dipikir kalau kita misi itu kita benar-benar kerja. Lupa saja mereka kalau kita keluar dari sarangnya bisa jadi tidur mereka akan terganggu," tersenyum getir.

Yudha tersenyum. "Definisi pengabdian, Dhit. Banyak berjuang sedikit penghargaan."

"Orang biasa meninggal dalam kerusuhan diteriaki HAM, kalau kita yang meninggal akibat kerusuhan, nggak ada yang teriak HAM. Mungkin karena kita bukan manusia," canda Adhit menyeruput minumnya.

"Ha ha, jangan gitu."

"Bercanda, Bang. Eh tadi mau bilang apa?"

Yudha diam, menghentikan gerak tangannya di sekitar gelas. "Minggu depan aku naik pangkat," ucap Yudha.

"Alhamdulillah dong, gaji naik, amanah makin berat. Eh tapi masih Danton ya? Nggak bisa langsung jadi KASAD misalkan. Ha ha ha," canda Adhit.

Sayangnya Yudha tidak sebercanda itu. Dia sudah memikirkannya sejak dia diberangkatkan di Aceh. Beberapa kali dia juga sudah mendiskusikan ini dengan orang tuanya. Ia hanya tidak ingin terlalu lama menggenggam hati perempuan tanpa mahar. Toh waktunya sudah tiba, karir militernya telah naik satu tingkat. Keuangannya juga normal, mentalnya mungkin sudah kuat, yang dia selalu ragukan, apakah ilmu agamanya telah cukup untuk itu semua. Maka ia berpikir begitu lama.

AsmaralokaTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon