12. Hati Seorang Adhitakarya

4.2K 449 39
                                    

Sena, Adhit, dan Mama tengah duduk di halaman rumah Om Bagas, bersama Asa dalam pangkuan Mama. Kak Ria tidak ada, jelas jam segini jam dinasnya di RST Slamet Riyadi, anak pertamanya juga jelas tengah sekolah di TK Bhayangkari Karanganyar. Vidya juga pasti sekolah. Maka tinggallah mereka menikmati kebersamaan.

Beberapa kali ponsel Adhit berdering, dibiarkan saja, tetapi sekali dia buka, mengetik sesuatu lantas bergumam kesal. Mama dan Sena sampai heran dibuatnya.

"Kenapa sih?" tanya Sena mulai risih dengan gumaman Adhit.

"Alina nih. Risih lah, Kak. Udah nggak suka dichat mulu. Kalau bukan Taruni Akmil, sudah Adhit blokir dari dulu!" jawabnya dengan wajah temaram.

Sena menahan tawanya.

"Alina yang Kak Sena ceritakan itu?" tanya Mama mengingat semua cerita dari Sena.

"Iya, Ma. Yang ngefans parah sama Adhit. Pokoknya pengen banget jadi pacarnya Adhit, ha ha ha," jelas Sena mentertawakan adik semata wayangnya.

"Ketawa lagi!" ketus Adhit melempar ponselnya pelan di atas meja.

"Memangnya dia kenapa sih, Dik?" tanya Mama lagi, mengambil ponsel Adhit dan berusaha membukanya.

"Nih, Mama lihat nih," meminta ponsel dari Mama lantas membuka sebuah pesan telegram.

Mama membaca sekilas, menahan tawanya dan mengusap kepala anak laki-lakinya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Mama membaca sekilas, menahan tawanya dan mengusap kepala anak laki-lakinya. Beliau heran dengan jawaban putranya. Mengapa hanya singkat semacam itu?

"Siapa bilang Adhit ini ndak seperti Papa?" gumam Mama.

"Kok gitu?"

"Papa mungkin punya banyak mantan, tapi Papa lebih suka mengejar daripada dikejar. Karena bagi Papa, kodrat perempuan itu memperbaiki diri, belajar ilmu agama dan duniawi, dan menunggu pemiliknya datang. Jadi, Papa selalu tidak suka dan cuek kalau ada perempuan yang mendekatinya," jelas Mama.

"Tapi Papa doyan mendekati perempuan kan, Ma?" sambar Adhit membuat Sena menepuk punggungnya keras.

Adiknya itu terlalu ceplas-ceplos, bahkan membicarakan Papanya yang telah tiada sekalipun.

Mama tersenyum. "Ya benar. Itu kelemahan Papamu, tidak suka didekati, tetapi banyak mendekati. Mama rasa lebih dari 50% laki-laki begitu."

"Tapi, Ma, laki-laki sekarang, mau kok didekati kalau ceweknya cantik. Ya namanya lelaki, Ma, semua matanya sama walaupun definisi cantik itu relatif," sambar Sena.

Mengangguk. "Iya, Allah SWT menciptakan semua mata lelaki itu sama. Lihat yang bening sedikit zina mata, makanya kenapa lelaki diharuskan menjaga pandangannya. Ya karena itu semua mata lelaki itu sama, bedanya hanya pada keimanan di hatinya."

Sena dan Adhit mengangguk-angguk.

"Berarti, seanti-antinya Adhit pada perempuan, tetap saja kalau lihat perempuan bening dan buka aurat bakal melek dong, Ma," sindir Sena.

AsmaralokaWhere stories live. Discover now