49. Di Luar Batas

3.1K 454 119
                                    

Menjelang malam ketika Adhit sibuk dengan ponselnya, ia terngiang petuah Ayara untuk memaafkan Ameera, sebaik-baiknya sebagaimana kami dulu bertemu, tidak ada rasa dendam apa pun. Semata agar keduanya sama-sama hidup damai tanpa rasa bersalah, pun tanpa rasa yang disalahkan. Ia ingin menghubungi, namun terlalu lancang menghubungi istri orang lain. Wanita adalah sebaik-baik mahkota, lalu, jika mahkota itu telah ada di atas kepala seorang raja, pantaskah untuk disentuh? Rasanya tidak.

Seharusnya malam ini telah selesai segala prosesinya, setiap adat agama telah pasti mengukuhkan seorang kepala negara memakai mahkotanya. Tetapi bagaimana jika mahkota itu terlalu berat oleh rasa bersalah? Bisakah diletakkan sejenak rasa bersalah itu, untuk selanjutnya dapat seorang laki-laki gunakan hingga ia mundur dari jabatannya setelah tiada?

"Izin lapor, Ndan! Pergantian regu jaga!" lapor Anjar usai memberikan hormat.

Adhit mengangguk. "Kalau bergantian jaga itu, lupakan setia kawan kalian sejenak. Minta Danang kembali ke baraknya, istirahat untuk besok pagi. Tidak ada yang tidur di pos jaga utama!"

"Siap!"

"Anggotamu, pastikan juga berganti tepat waktu!"

"Siap!"

"Oh tunggu, kemarin siapa yang bilang saya menyebalkan? Dikasih tahu kalau tidak mau patah hati, jangan..."

"Siap, salah! Tapi bukan saya, Ndan."

"Sampaikan sama orangnya. Terima kasih sudah jadi teman saya."

"He?" Anjar bingung.

"Ha he ha he, mau saya tendang tulang keringmu?"

"Siap, tidak!"

"Ya sudah kembali!"

"Siap!" Anjar memberi hormat lalu melangkah pergi.

"Tunggu," panggil Adhit. Rupanya baru empat langkah Anjar meninggalkan Komandan Peletonnya.

"Siap!"

"Kalau kamu jadi saya, kamu akan menghubungi dia untuk memaafkan atau tidak? Tapi dia sudah menjadi istri orang."

Anjar diam.

"Jawab!"

"Siap, saya akan memaafkan dan memberinya selamat. Jika tidak enak pada suaminya, mungkin melalui suaminya," usul Anjar.

Adhit mengangguk. "Terima kasih."

"Siap!" Anjar kembali memberi hormat lalu melangkah pergi. "Kok bisa aku bicara sok yes begitu?" gumamnya berpikir keras.

Setelah berpikir panjang, akhirnya Adhit memberanikan diri untuk menelepon Ameera. Tidak ada niat lain hanya untuk mengucapkan selamat dan mengatakan bahwa dia sudah damai.

"Niat baik, nggak macam-macam, bodo amat mau gangguin malam pertamanya," gumamnya. "Bismillahirrahmanirrahim." Memencet tombol telepon.

"Assalamualaikum, Dhit," sapa Ameera setelah menunggu beberapa saat.

"Wa'alaikumsalam, suamimu ada?" tanya Adhit, itu keputusan terbaik.

"Sedang di kamar mandi."

"Oke, aku tunggu."

"Langsung saja tidak apa-apa, Dhit. Suamiku akan mengerti. Biar aku yang jelaskan nanti."

"Aku tidak ada perlu denganmu, aku ada perlu dengan suamimu."

"Untuk apa?"

"Bukan urusanmu."

Ameera menelan ludah bersama dengan rasa bersalahnya. Padahal itu sudah tidak penting lagi, jika hendak kejam, seharusnya jangan tanggung-tanggung. Maka biarkan yang tersakiti genap terlukanya, tidak setengah-setengah.

AsmaralokaWhere stories live. Discover now