6. Gadis Hitam Yonif 413/BRM

4.8K 500 13
                                    

Sabtu terakhir sebelum sang Dilan cabang Akmil kembali ke dunianya. Hari dimana dia ada dalam perjalanan dua pilihan, menjemput masa depan atau sekedar melihat bola dipermainkan. Adhit tak sendiri dalam perjalanannya, ia bersama Sena dan Yudha yang ikhlas mengambil libur 2 hari. Bukan, bukan untuk menemani Adhit sejujurnya, tetapi untuk melihat laga antara Arema Malang dan Persebaya Surabaya. Masih seperti dulu, dua kakak beradik yang tidak akur meski selalu merindukan jika berjauhan.

Liburan kali ini memang sangat berisiko. Bagaimana tidak? Rivalitas kolot antara kedua suporter sejujurnya terlalu berbahaya untuk Sena yang merupakan Aremanita sejak kecil. Tetapi mereka tetap ingin datang, sekedar memastikan bahwa semua stadion tidak mendiskriminasi siapapun, sebab semua stadion diperuntukkan untuk pecinta sepakbola. Meski Sena pun tetap mencari aman, tak mengenakan jersey aremanya, hanya mengenakan polo shirt warna hijau dengan lambang infanteri di dadanya. Itupun masih dia tutup dengan jaket hitam kombinasi merah di bagian resleting.

Dalam perjalanan kereta menuju stasiun Gubeng, Adhit terus menggenggam erat tangan Kakaknya. Seolah menjadi orang yang paling posesif di dunia. Bukan karena ia takut kehilangan Sena, tapi ia takut kakaknya itu terlalu asyik dengan Yudha. Bahkan ia sengaja meminta Yudha duduk di kursi depannya.

"Dhit, tangan kakak pegel, ini dari Semarang kamu pegangin kakak kaya gini terus loh?" kata Sena mengangkat genggaman tangan mereka.

Yudha menahan tawa. "Takut banget kalau Kak Sena aku bawa lari sih, Dhit."

"Aku udah janji sama Papa mau jagain Kak Sena!" ketusnya.

"Ya tapi nggak gini amat, Badrun!" Sena tersentuh tapi dia ingin melepas genggaman tangan mereka karena pegal mulai menyapa.

"Papa kasih namaku, Adhitakarya Nagara Bhakti bukan Badrun!"

Sena menghela napasnya.

"Aku juga sudah berjanji sama Om Gibran buat jagain Kak Sena. Kenapa sih nggak mencoba mengikhlaskan Kak Sena buat aku jagain? Hitung-hitung membantulah."

"Aku masih sanggup jagain Mama dan Kak Sena. Nggak perlu bantuan. Ingat ya, Kak Yudha boleh jadi pacar Kak Sena tapi nggak boleh macem-macem. Masih ada yang jagain!" ancamnya membuat Sena dan Yudha tertawa kecil.

"Besok aku lamar Kak Sena, dan kamu nggak boleh menghalangi!" giliran Yudha memberikan ancaman kecilnya.

"Kalau belum Lettu nggak boleh, kalau masih suka gombalin cewek lain juga nggak boleh, kalau belum dapat restu dari Mama, Kak Obes, Kak Ria, Om Bagas, Tante Maya, Dik Vidya, Kak Shena, Pakde Satya, Budhe Sandra, Yangti, Yangkung."

"Banyak amat?" potong Yudha.

"Ya mau enggak? Kalau enggak silakan cari yang lain!"

Sena memukul keras lengan Adhit. "Enak aja!"

"Tenang aja, Kak. Aku ada kenalan TNI AU, ganteng, lebih ganteng dari Kak Yudha."

"Ishhh, cinta itu masuk tanpa orang dalam kali. Asal kenal bisa masuk!" bantah Sena.

Yudha tertawa kecil. "Tenang aja sih, Dhit. Tunggu tanggal mainnya, enggak-enggak kalau aku mempermainkan Sena. Yang ada dia yang mempermainkan aku," sindirnya.

"Oh iya, dikit-dikit diputus ya?" ejek Adhit. "Anak kecil emang."

"Eh, kamu tahu apa soal pacaran? Nggak pernah pacaran juga, jadi nggak usah ikut komentar!"

"Tidak perlu pacaran untuk mengerti apa itu cinta, tidak perlu pacaran untuk mengerti bagaimana menghadapi pujaan hati."

Sena kalah lagi dalam hal ini dan ia biarkan Adhit terus menggenggam tangannya, dia bahkan membiarkan dirinya bermimpi di bahu Adhit, menikmati kasih sayang adik sebelum pertengkaran kembali menjadi rutinitas.

AsmaralokaOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz