54. Dokter Gigi

3.2K 479 36
                                    

"Dik?" panggil Sena yang baru saja pulang dari kantor, mendapati Adhit terlelap di sebelah anaknya.

Dia sama seperti Om di tempat lain, bahagia mendapatkan ponakan baru. Paling tidak dalam keluarga yang cukup dekat, pasti berbahagia jika anggota keluarganya bertambah.

"Heh, kakak kenalin sama Dokter Gigi mau, nggak?"

Adhit yang awalnya males-malesan langsung terbangun. Bukan karena senang, dia malah protes kenapa harus dikenal-kenalkan? Memang semenyedihkan itu nasibnya? Ah, ya memang menyedihkan.

"Dia baik, cantik sih ya, lebih cantik Ameera atau Alina. Tapi sopan orangnya. Daripada kepikiran Ameera terus, kan?"

Masih dengan muka bantalnya, dia memicingkan mata. "Aku sudah tidak memikirkan Ameera lagi ya, Kak! Catat!"

"Oh ok, baik."

Merasa tidak nyaman karena Sena membahas Ameera lagi, Adhit memutuskan untuk mencari udara segar. Keluar asrama, memutuskan mencari makanan sebab sejak sampai ke Semarang, dia belum makan, tepatnya enggan makan. Sudah berulang kali Mama Agni menawarkan tetapi ditolak. Lebih memilih tidur bersama Narasi.

Cukup lama, sembari bercengkrama dengan tentara lain di warung tenda yang tak jauh dari Yonif 400/BR. Jamnya yang dinas berganti, jamnya yang habis kerja pulang, warung sedikit ramai, tapi Adhit justru tidak terlalu menyukainya. Masa empat belas hari yang dia punya, enggan dia gunakan untuk menikmati keramaian. 

Ketika kembali ke rumah, dia cukup terkejut dengan adanya seorang perempuan, berkulit hitam manis, gingsul,  berkacamata, pipi yang bulat, hampir sempurna mirip dengan bakpao. Serta disambut senyuman penuh kode dari Sena, seolah mengataka, ini yang mau aku kenalkan. Padahal Adhit sudah mengatakan, tidak mau.

Tanpa menyapa, bahkan tanpa senyum apa pun. Adhit langsung masuk ke dalam kamar. Dia laki-laki yang angkuh sekali, tidak berkaca dengan apa yang dia lakukan pada Alina sebelumnya. Kejam. Begitu dia mendapat perlakuan kejam dari perempuan, meratap pula dia.

"Dhit, kenapa sih? Ketemu dulu lah, ngobrol dulu," kata Sena, usai menyusul adiknya di kamar yang hari-hari digunakan Mama Agni untuk beristirahat. Maklum saja, rumah dinas tidak selalu setara dengan rumah gedongan.

"Kan aku sudah bilang tidak mau, Kak. Bukan karena dia jelek, dia manis kulihat sekilas. Tapi aku tidak suka dikenal-kenalkan. Lagi pula, kakak kenapa sih harus mengenalkan begitu? Pakai dibawa ke rumah segala."

Sena menghela napas, duduk. "Dia dokter gigi keluarga, Dik. Baru empat bulan ini. Kakak tidak bisa menolak, dia sendiri yang minta dikenalkan sama kamu. Setelah melihat foto keluarga kita. Tenang, dia seumuran kok, eh, tapi tuaan dia satu tahun."

"Hah?" Adhit memekik keras sampai perempuan di luar sedikit bingung. Mama yang tadinya di dapur jadi ikut masuk ke dalam kamar, penasaran dengan apa yang terjadi. "Ada perempuan minta dikenalkan begitu?"

Sena dan Mama Agni saling tatap.

"Ada kenyatannya. Lagi pula, apa salahnya orang mau cari jodoh?" Sena memberikan jawabannya.

Adhit menghela napas. "Tidak salah, dia sudah matang, wajar juga kalau dia menginginkan seseorang untuk menyempurnakan agamanya. Tapi nggak gitu juga, Kak! Aku tidak mau lah!"

"Ya, setidaknya tidak mau pun, temui saja dulu sama Kak Sena. Sebentar saja," usul Mama.

Karena Mama yang bilang, Adhit menuruti, meski dengan bibir anti rokok yang manyun, wajah masam yang sulit sekali diubah menjadi basa. Sementara perempuan itu tidak putus memberikan senyum manisnya. Sungguh tiada yang salah dari wajah dan penampilannya, tetapi tidak bisa wajah itu memaksa Adhit untuk suka, setidaknya berkenalan sedikit saja.

AsmaralokaWhere stories live. Discover now