51. Arunika di Tapal Batas Negara

3.4K 448 44
                                    

Selamat pagi, salam dari batas negara. Garis penting yang dianggap remeh para penguasa. Laiknya gerbang sebuah negara yang terlihat biasa. Megah memang tugu perbatasan, sudah bersyukur ada perbaikan, tetapi dengan minimnya kemajuan SDM, beberapa daerah tertinggal justru ada di perbatasan, ya, itu semacam memaksa semua orang untuk tidak melihat sesuatu dari bagian depannya. Sebab jika orang menatap bagian depannya, Indonesia nampak suram. Padahal begitu kaya dengan berbagai budaya serta hasil alamnya. Warganya saja yang tidak pandai bersyukur.

Hari ini, terhitung 150 hari berada di daerah terluar Indonesia. Telah melewati banyak tugas, mulai dari pembangunan, penggagalan penyelundupan, penanganan kesehatan, edukasi dan pendidikan, serta banyak lagi. Rasanya telah banyak berbuat tetapi terkesan kecil tidak berarti apa-apa.

Sekarang Adhit tengah berjalan ke pemukiman warga, mengecek beberapa kebun warga yang ditanami oleh prajurit perbatasan. Sedang meraba dan mencoba, tanaman apa yang cocok untuk mengisi beberapa lahan kosong, yang dapat menjadi ikon. Syukur-syukur, dapat dijual ke Malaysia.

"Iya, Mas. Adik sehat kok," suara itu membuat Adhit menoleh. "Adik juga rindu. Bulan depan adik pulang, tepat musim liburan kan?"

Adhit menatap perempuan di teras rumah panggung itu. Tersenyum tipis, sembari berkacak pinggang. Ayara, dia benar-benar punya kekasih, itu yang Adhit pikirkan saat ini. Sungguh menyenangkan dapat berbagi ungkapan rindu.

"Izin, Ndan. Sudah punya pacar, Ndan?" tanya Danang mengagetkan Adhit.

"Sudah."

"Yah, pulang dari perbatasan gagal dapat calon istri dong, Ndan?"

Adhit langsung menoleh. "Sudah ada waktunya masing-masing. Kalau cuma disuruh nikung dia, saya juga bisa."

"Heleh!"

"Kamu meremehkan saya?"

"Siap, tidak!"

Adhit mengerling saja lalu melangkah pergi.

"Mas Adhit!" Belum genap dua langkah, Ayara sudah memanggil Adhit dan bergegas turun dari rumah panggung. "Mas mau ke mana?"

Berbalik. "Cek kebun."

"Oh, tunggu dong, Mas. Aku ikut," katanya masih menempelkan ponsel di telinga kanannya.

"Tidak usah. Kamu tahu, kekasihmu tentara, tidak punya banyak waktu. Jadi, sekalinya ada waktu, manfaatkan dengan baik," ujar Adhit.

"Oh," Ayara langsung mematikan ponselnya.

"Kok dimatikan?"

"Anu, malu lah, Mas. Kelihatan ya, kalau lagi telepon sama pacar?"

Mengangguk-angguk. "Semua kata rindumu, semakin membuatku tak berdaya!" pekik Adhit, seperti saat Dewa 19 bernyanyi. "Ha ha ha, lanjutkan saja. Toh kita akan lama karena mampir-mampir. Kamu tahu kan pesonaku ini membuat ibu-ibu sini sukarela menawarkan makanan gratis."

Ayara tertawa. "Oke baiklah."

Adhit dan empat anggotanya kembali melanjutkan perjalanan, bercengkrama dengan warga, sesekali juga mengecek kesehatan warga, andaikata ada yang sakit, bisa langsing menghubungi ke pos untuk meminta bantuan pasukan medis.

---

Selamat pagi lagi, 179 hari di Batas Tapal Negara. Sembilan bulan belum genap, jika genap mungkin Adhit sudah di Jawa sekarang. Masih panjang, tapi dia sudah rindu dengan suasana perkotaan, setiap kali malam Minggu bisa berjalan-jalan mencari makanan, setiap kali butuh hiburan tinggal ke luar. Meskipun udara di sini jauh lebih sehat dan menyenangkan paru-parunya, tetap saja sesekali dia merindukan suasana perkotaan.

AsmaralokaWhere stories live. Discover now