39. Berdamai Dengan Kehidupan

3.3K 448 31
                                    

Setelah banyak sekali urusan dinas, kini Yudha dan Sena bisa pulang kampung dua hari. Mereka masih sama-sama dengan senyum pura-pura. Hanya saja, Sena lebih banyak diam sekarang. Dia melakukan kegiatan sebagai istri dengan baik. Sudah tidak terdengar keluh manjanya setiap kali tubuh kokohnya merasa lelah. Yudha, dia setiap hari harus membuat lelucon garing untuk menghibur istrinya.

"Mana lihat lukanya," ujar Sena menyiapkan pembersih luka dan obat merah, serta beberapa kain perban dan plester untuk menutup lukanya, sudah mulai mengering tapi masih cukup berbahaya jika terkena keringat Yudha atau debu-debu lainnya.

Yudha membuka bajunya. "Sudah mau sembuh."

Mengangguk. "Sudah satu Minggu tapi aku belum bertanya, bagaimana caranya Mas bisa mendapatkan luka tusukan semacam ini?" Sembari menyiapkan peralatannya.

"Em, nggak sengaja."

"Mana ada orang lagi perang sengaja menusukkan benda ke badannya? Ini yakin bukan karena belati?"

"Yakin. Hanya batang pohon waktu terperosok."

Mengangguk-angguk. "Memangnya kalau jalan nggak pakai mata?"

Yudha tersenyum, mengecup singkat kening istrinya. "Mas jalan pakai kaki, tapi lupa buka mata."

Sena menatap suaminya, menghentikan aktivitasnya.

"Kamu tidak suka kalau Mas bercanda?"

Menggeleng. "Hanya bingung, kenapa Mas bisa sebahagia ini?"

Meraih tangan istrinya, menggenggam, lalu membawanya ke pangkuan. "Apakah terlihat begitu?"

Mengangguk-angguk. "Setelah Mas tahu istrimu ini melakukan kesalahan. Bagaimana Mas bisa tetap bahagia?"

Menghela napas. "Aku tidak pernah benar-benar merasa bahagia atas musibah yang kita alami, aku tidak pernah ingin menyalahkanmu, mari kita anggap itu kecelakaan."

Sena menunduk. "Seandainya aku tidak melamun, tidak nekat menerjang hujan dan angin. Semua tidak akan terjadi."

Tersenyum tipis, menyelipkan rambut Sena ke telinga, menatap penuh kasih sayang. "Kamu melamun karena memikirkan Mas Yudha, kan?"

Diam.

"Nekat menerjang hujan dan angin? Siapa yang membuat kakimu tetap melangkah dan otakmu begitu nekat? Tuhan. Semua sudah diatur." Menggenggam lebih kuat. "Mas tidak merasa begitu bahagia seperti sebelumnya, Mas hanya memaksa diri sendiri untuk bahagia. Terpaksa lalu terbiasa. Ya, sudah waktunya kita berdamai dengan kehidupan. Toh, mau meratap atau bersedih terus menerus tidak akan membangunkan anak kita dari surga-Nya, kan?"

Diam.

"Dari Abu Hurairoh radhiallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasalam bersabda,  'Dua hal yang ada pada manusia dan keduanya menyebabkan mereka kafir: mengingkari keturunan dan meratapi kematian.' (HR. Muslim)," ucap Yudha.

Sena mengangkat kepalanya.

"Tidak halal seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berkabung karena kematian, lebih dari tiga malam, kecuali atas kematian suami, maka harus berkabung empat bulan sepuluh hari. (HR. Bukhori)."

Sena mulai terketuk.

"Cukupkan semua ratapanmu, Tuhan akan mengganti lebih dari apa yang Dia ambil."

Mengangguk-angguk. Dalam hatinya mengucap istighfar, menyebut nama Tuhan menyampaikan permohonan maaf.

"Lanjutkan lagi!" perintahnya membangunkan tangis Sena. "Ah, mas bingung dengan matamu. Produktif sekali mengeluarkan air mata. Pipimu juga tidak pernah protes meski selalu tergenang banjir."

AsmaralokaWhere stories live. Discover now