29. Monokrom

3.2K 428 78
                                    

Adhit hari ini ke Semarang, setelah dia tidak dipedulikan oleh Ameera. Berulang kali dia datang ke barak tempat Ameera bertugas sehari-hari, beberapa kali dilarang masuk karena lupa membawa identitas, tetap saja Ameera tidak mau menemui Adhit. Sekalipun membalas pesan singkat saja juga tidak mau. Sepertinya dia terlanjur kesal dengan Adhit.

"Bang," panggil Adhit pada Yudha yang ditemuinya di rumah dinas Yudha dan Sena.

Sena masih kuliah sore ini, nanti malam baru pulang, dijemput Yudha tenttunya.

"Hemm."

"Ameera nggak mau angkat teleponku, balas pesanku, apalagi menemuiku. Ambyar rasane, Bang. Netes eluhku, mbrebes mili ono pipi."

Yudha mengerlingkan matanya. "Masalahmu tidak sebesar masalahku. Jangan ngeluh dulu lah!"

"Apa sih masalah Abang? Paling juga soal Kak Sena yang kaya anak kecil. Sudah Abang hadapi bertahun-tahun, sudah hafal," sedikit mengentengkan.

Adhit belum mendengar kabar apapun, bahkan kabar kehamilan Sena saja belum ada yang tahu. Sena dan Yudha sengaja belum memberikan kabar meskipun sudah lewat dua Minggu sejak kehamilan itu diketahui. Katanya menunggu waktu yang tepat untuk pulang ke Karanganyar, biar langsung bisa bercerita dengan Mama, Kak Obes, istri dan anaknya, juga Om Bagas, istri dan kedua anaknya. Maka wajar jika Adhit begitu meremehkan masalah Yudha. Seseorang yang sedang ambyar hatinya memang merasa masalahnya adalah yang paling berat.

"Ameera lho, Bang. Sudah kuperjuangkan di depan Tuhan, tiap malam kusebut-sebut. Sudah yakin sama Ameera, semakin yakin malah. Bisa-bisanya aku diacuhkan. Ah, ambyar, ambyar, ambyar!" jerit Adhit.

"Serius nggak sih sama Ameera?"

Diam sejenak. "Serius lah."

"Tulus?"

"Tulus lah!"

"Kalau tulus, kenapa mengharap imbal balik? Kalau tulus mencintai, apa yang kamu perjuangkan di hadapan Tuhan, tidak usah diharapkan balasannya kalau memang dia tidak mau. Kamu yakin, dia nggak yakin buat apa? Kalau kamu yakin, dianya enggak, ya berarti Tuhan tidak menakdirkan. Tidak usah dibikin susah. Kamu ke sini cuma mau curhat Ameera, Ameera. Cewek banyak di luar, Alina? Bentar lagi lulus itu anak. Tinggal nunggu dua tahun sampai empat tahun seteah lulus, bisa kamu nikahi!" Yudha sedikit keras sekarang.

Dia bahkan belum mengatakan pada istrinya jika dia akan berangkat ke pengamanan daerah rawan. Mencoba merayu Dankinya agar berpikir ulang pun, ternyata memang sudah ditentukan dan bisa dipastikan. Tinggallah merayu Tuhan, merayu untuk semua kemungkinan terbaik dan menghilangkan kemungkinan terburuk.

"Lagi pula, kamu masih menunggu naik pangkat jadi Lettu baru menikah kan? Bukannya itu cita-citamu? Atau kalau bisa waktu pangkatmu Kapten. Kok, sekarang kamu kebingungan? Waktumu masih panjang. Perasaanmu bisa berubah, perasaan Ameera juga bisa berubah. Kamu ini hanya pintar jatuh cinta dengan negaramu, tapi tidak pintar jatuh cinta dengan perempuan!"

Yudha meninggalkan Adhit ke belakang, hendak mengambilkan minum karena sejak tadi tidak ada minuman atau makanan di atas meja. Benar-benar kosong, hanya ada dua baret milik mereka masing-masing. Juga asbak kecil yang memang disediakan jika saja ada tamu yang merokok.

"Kamu tidak ingin mengajak Ameera pacaran kan?"

Adhit diam.

"Maka, tidak perlu khawatir dan kebingungan jika tidak bertemu. Cukup pastikan dia belum menerima surat kematian. Selama dia masih hidup, Tuhan bisa melakukan apa saja yang Dia mau untuk hubungan kalian. Kalau kamu ngajak ketemu terus, sama saja kamu ngajak dia pacaran. Keluar, ha ha hi hi, gandengan tangan. Istiqomah kok setengah-setengah," sembari mengucurkan air minum ke dalam gelas.

AsmaralokaWhere stories live. Discover now