35. Gerimis Sendu

2.8K 408 33
                                    

Satu jam usai janin yang telah berhenti berdetak itu diangkat. Satu jam setelah Sena, merasa dirinya telah membunuh darah dagingnya sendiri. Berjam-jam ia menangis dan meratap, merutuk dan menyumpahi dirinya sendiri. Sesekali dia berusaha mengerti, Tuhan lebih tahu bagaimana menulis perjalanan hidup hamba-Nya. Kapan prolog itu dimulai, kapan narasi indah dijalankan, kapan klimaks dari sebuah duka itu terjadi, kapan epilog menjadi akhir? Semua telah dengan rapi diatur oleh Tuhan. Tetapi tetap saja, berat bagi Sena untuk langsung berdamai dan mengerti.

Di atas tempat tidurnya, dengan setengah sadar, Sena masih menitikkan air matanya. Sementara Adhit di luar hanya bisa terdiam, memukul-mukul kepalanya sesekali. Mama Hani dan Mama Agni sibuk menenangkan Sena dengan usapan lembut. Sementara Ameera kebingungan sendiri harus berbuat apa.

Dua orang tua yang biasa memiliki kalimat menenangkan kali ini hanya bisa diam. Memberi kekuatan dengan cara yang lain. Ameera yang dengan pemikiran realitisnya juga tidak bisa berbuat banyak kecuali bungkam. Adhit, si tenang dan dewasa itu justru berubah menjadi ular berbisa mematikan. Duka memang merubah segalanya, badai telah membungkam setiap kata.

Tak lama, Mama Agni menyusul Adhit di depan rumah sakit. Ikut duduk lesehan di teras rumah sakit.

"Pulang, Dik. Ganti baju, terus istirahat. Biar Mama sama Ameera yang menunggu di sini, ajak Tante Hani juga biar dia istirahat," kata Mama mengusap-usap lutut Adhit yang ditekuk.

"Mama tidak marah?"

Mama menoleh. "Mama kecewa dengan ucapanmu. Bagaimana bisa, anak laki-laki Mama yang sudah berjanji akan menggantikan Papa, berkata demikian pada kakaknya?"

Adhit menunduk.

"Tidak ada seorang ibu yang mau kehilangan anaknya. Tidak ada juga seorang ibu yang dengan sengaja membunuh bayinya. Jika ada dia bukanlah seorang Ibu, dia hanya iblis yang menjelma menjadi manusia."

"Maaf, Ma."

"Pulanglah!" tersenyum pahit. "Mama kasih tahu Tante Hani dulu."

"Ma," Adhit menarik tangan Mamanya. "Maaf. Adhit hanya merasa bersalah. Seandainya Adhit lebih berguna dan fokus mencari Kak Sena. Mungkin tidak terjadi juga hal semacam ini."

Menggeleng. "Kecewalah juga sama Mama. Mama memaksamu pergi tanpa jas hujan, hanya dengan motor bebek sementara hujan dan angin begitu menakutkan. Kecewalah karena Mama tidak memikirkan keselamatanmu."

Menggeleng. "Sudah kewajiban Adhit, Ma."

"Mama yang berkewajiban melindungi anak-anak Mama," tersenyum dan mencium puncak kepala Adhit.

Mama melangkah ke dalam hendak mengatakan rencana jadwal untuk menunggui Sena selama masa pemulihan. Dia masih cukup lemas, badannya juga masih panas dan ternyata kakinya sedikit terkilir.

Di dalam, belum sempat Mama mengatakan rencananya, Adhit langsung masuk tanpa mengetuk pintu maupun salam.

"Ngapain? Mau ngomong yang enggak-enggak lagi?" tanya Ameera menghentikan langkah Adhit.

"Tidak."

Adhit kembali melangkah, mendekati Sena yang dengan air matanya tenang mengalir, hatinya saja yang berkecamuk.

"Kak?" Adhit menggenggam tangan Sena. "Maaf, Adhit nggak bisa jagain kakak. Seandainya tadi lebih cepat datang dan tidak lemah, kak Sena tidak mungkin mengalami hal seperti ini juga,"  katanya sedikit menitikkan air mata.

Sena menatap Adhit sekilas. "Kamu benar. Kamu sudah melakukannya dengan benar."

Menggeleng.

"Kembalilah ke Tegal, selesaikan tugasmu. Kamu akan kesusahan mengurus kakak jika kamu tetap di sini. Kakak baik-baik saja." Tapi air matanya tidak menjelaskan demikian.

AsmaralokaWhere stories live. Discover now