62. Menjadi Akhir Bahagia

5.1K 538 74
                                    

Ayara memasuki kamar hotel bersama Narasi, ponakan yang dia culik paksa setelah bangun dari tidurnya. Narasi yang tenang, menggemaskan, yang suka sekali mengoceh memenuhi ruangan dengan suara-suaranya. Ayara sungguh jatuh cinta dengan Narasi, mulai dari pandangan pertama, hingga saat dia bisa menggendong Narasi dengan leluasa.

"Anak orang kamu bawa-bawa," tegur Adhit usai menelepon sahabatnya, Rendy yang sudah pasti tidak bisa datang. Dia tidak bisa meninggalkan istrinya yang tengah hamil besar.

"Daripada di sana, Kak Sena lagi ditelepon Ameera," jelas Ayara dengan nada cemburunya, menciumi puncak kepala Narasi.

Adhit? Tubuhnya menegang dan gemetar, dia berdamai tetapi sungguh terkadang masih mengingat jelas rasa sakitnya.

"Mas Adhit tidak mengundang Mbak Ameera kan di Solo nanti?"

Barulah Adhit berkedip dan dapat mengatur debar jantunynya. "Tidak, aku sudah punya rumah untuk pulang. Tidak ada gunanya mengizinkan masa lalu untuk kembali pulang."

Ayara tersenyum. "Mas Adhit mungkin mencintaiku, sedang perasaan yang pasti berbeda. Tapi Mas Adhit juga tidak mungkin lupa rasanya waktu Mas Adhit mencintai Mbak Ameera."

Adhit menatap istrinya. "Aku berdamai dengan perasaanku pada Ameera. Aku hanya teramat membencinya karena rasa sakit itu, Sayang. Pantas kah kita mengizinkan masa lalu untuk pulang? Di hari bahagia kita?"

"Masa lalu tidak akan pulang jika Mas Adhit tidak menghendakinya."

Adhit mendekat, mencium puncak kepala istrinya tiba-tiba. "Aku yang mengembalikan Narasi atau kamu yang mengembalikannya?"

Ayara diam.

"Jika aku yang mengembalikannya, mungkin aku akan sedikit berbincang dengan Ameera karena Kak Sena mungkin menyuruhku menyapanya. Kalau kamu, kamu mungkin bisa menyapa Ameera dengan nada ketusmu, mewakiliku."

Tidak ada jawaban apa pun, tapi Ayara berjalan keluar cepat-cepat, mengembalikan Narasi. Beberapa saat, dia kembali dengan wajah sebal.

"Kenapa lagi?"

"Mbak Ameera mengucapkan selamat."

"Lalu kamu kesal?"

"Ya, tentu. Jika hanya kalimat selamat. Aku akan menerima, Mas. Tapi dia menitipkan salam untuk Mas Adhit. Dia meminta maaf untuk semua yang pernah dia lakukan, dia berbahagia karena akhirnya Mas Adhit melupakannya. Apakah sepenting itu Mbak Ameera buatmu, Mas?"

Adhit tersenyum, mendekati istrinya lalu memeluk hangat.

Bunda Leni pernah mengatakan pada Adhit bahwa Ayara suka sekali dipeluk oleh Ayah atau pun Bundanya. Sangat. Sejak kecil.

"Bukankah seharusnya kamu berterima kasih pada Ameera? Tanpa dia mengakitiku waktu itu, aku mungkin tidak jatuh cinta denganmu. Bukankah begitu?"

Ayara mendorong tubuh kokoh suaminya. Wajahnya mendung penuh kecemburuan.

Adhit tertawa kecil. "Setiap cinta akan selalu menemukan jalannya. Jalanku untuk menemukanmu begitulah adanya. Aku harus singgah sejenak pada perempuan lain, aku harus merasakan patah hati, aku harus merasakan dikejar banyak perempuan." Kalimat terakhir sengaja dia keluarkan untuk menghibur Ayara.

Berhasil, Ayara tersenyum meskipun mendung cemburunya masih menakutkan.

"Aku senang dan bahagia telah menemukanmu. Jawaban dari semua doaku, tempatku pulang, tempatku terlelap dengan nyaman."

"Doa yang mana? Mas Adhit hanya menyebut nama Mbak Ameera dalam setiap rayuan yang Mas Adhit sampaikan," bantah Ayara dengan nada cemburunya yang semakin jelas.

AsmaralokaWhere stories live. Discover now