7. Antara Zenia Zahra dan Hazimah

4.7K 457 11
                                    

Pagi ini di Surabaya, ditemani Ameera yang setia tak pulang demi Sena. Bukan, bukan dia pergi dari rumah tak pulang tanpa izin. Ia sudah izin ke Ibu dan Ayahnya, diperbolehkan karena menemani anak mantan atasannya. Jika bukan anak dari Lettu (Anumerta) Gibran Angkasa Nusa, mana mungkin Ameera bisa bebas tak pulang. Bahkan menginap di hotel. Rasanya tidak mungkin. Izin ke stadion saja sulitnya minta ampun, kalau bukan karena Ayahnya berjaga di stadion, mungkin dia tidak bertemu dengan sahabat kecilnya.

"Senin balik lagi ke rutinitas, nyelem-nyelem lagi di lumpur, latihan-latihan fisik, sampai bisa Latsitardanus sampai bisa Praspa. Ah, menantikan libur panjang lagi tahun depan," keluh Ameera pada Sena.

Sena tersenyum. "Sabar, nanti kalau sudah dilantik tambah susah lagi, ha ha ha."

"Nyelem lumpur? Bukannya di AAL tugasmu cuma angkat jangkar kapal?" seloroh Adhit berjalan di belakang bersama Yudha.

Ameera membalikkan tubuhnya. "Enak aja, emang kamu di Akmil kerjaannya godain cewek di depan gerbang."

"Ih, emang aku cowok apaan? Anti cewek tahu aku tuh."

Giliran Sena yang membalikkan badan. "Kamu homo?" dengan dahi mengernyit dan amarah yang akan memuncak. "Ih kamu ya, Papa sama Mama gedein kamu susah payah cuma buat jadi manusia homo yang kembali ke zaman jahiliyah!" Menjewer telinga Adhit keras-keras.

"Aduhh, bukan itu, Kak. Gila kali aku jadi homo, ganteng-ganteng gini homo. Nggak cocok!" sembari menahan sakit di telinganya.

Sena justru semakin keras menarik telinga Adhit. "Zaman sekarang tuh ya, orang ganteng kebanyakan homo!"

"Ishhh, Dilan ganteng tapi nggak homo. Ahh..." Terus menahan sakitnya.

"Pakai ngejawab lagi!"

"Enggak jawab, kan Kakak nggak ngasih pertanyaan, tapi pernyataan, jadi aku melakukan pembelaan bukan menjawab. Ih anak psikologi emang nggak diajarin bahasa Indonesia yang baik, aduh, dan benar?"

"Ihhh," semakin kesal, tangan kanan Sena menarik telinga dan tangan kirinya memoles kepala Adhit. "Seandainya aku jadi Mama, sudah aku kutuk kamu jadi batu pinggir sungai!"

Ameera dan Yudha hanya tertawa.

"Aduhhh," berusaha melepaskan tangan Sena dari kepalanya. "Kenapa harus batu pinggir sungai sih?"

"Biar bisa dipakai berak itu muka kamu!" Semakin pedas saja.

Agaknya Sena memang khawatir adiknya menjadi homo. Bukan, bukan karena dia malu, lebih tepatnya mengkhawatirkan kedua orang tuanya. Papa dan Mama sudah terlalu banyak menanggung dosa anaknya, masih harus ditambah lagi? Itu benar-benar perbuatan masa jahiliyah, dimana manusia tidak begitu mengenal agama. Dan Rasulullah SAW telah mengatakan akan ada suatu masa di mana kitab suci mulai ditinggalkan, dan di mana semua kembali ke zaman jahiliyah. Maka masa itu, semakin dekat dengan hari akhir.

Ya, tidak ada manusia yang sempurna, semua telah digariskan oleh Allah SWT. Tetapi menjadi manusia tidak bisa hanya mengikuti air mengalir, dia harus berubah lebih baik, sedikit demi sedikit. Jika hanya mengikuti air mengalir, kita hanya seperti bangkai tidak berguna. Semua orang punya salah dan dosa, yang tepat ialah bagaimana dia memperbaiki dirinya setiap hari, setiap waktu menjadi lebih baik. Dan dialah orang-orang yang beruntung.

"Ishhh, aku tuh nggak homo, Kak. Masih suka cewek aku."

"Tapi kamu anti cewek katanya tadi. Kamu juga nggak pernah jatuh cinta."

Memang terlalu serius.

Sejujurnya Adhit juga bukan homo, dia hanya ada di masa, pacaran itu tidak lebih penting dari impian dan pengabdian. Bung Hatta saja tidak mau menikah sebelum Indonesia merdeka. Mengapa Adhit harus dituduh homo karena tidak mau pecaran sebelum mantap melaksanakan pengabdian?

AsmaralokaWhere stories live. Discover now