36. Sesal

2.9K 415 8
                                    

Kini Semarang hanya menyisakan Sena dan Tante Maya serta anaknya yang paling kecil, Asa. Mama Hani dan Mama Agni memutuskan serta Om Bagas memutuskan untuk pulang, menguburkan janin kecil itu di sebelah makam kakeknya. Hari ini Om Bagas belum bisa mengantar keduanya untuk kembali ke Semarang. Masih ada kegiatan di Kodim yang belum bisa dia selesaikan.

Adhit dan Ameera jelas kembali ke Tegal, ke tempat tugasnya masing-masing di Angkatan Darat maupun Angkatan Laut. Sena? Dia bahkan tidak mau berlama-lama di rumah, dia memilih kembali bekerja meskipun pikirannya belum stabil, kondisi suaminya juga belum jelas.

"Di facebook ada berita katanya KKB di sana mengklaim telah menembak mati empat belas pasukan TNI. Memangnya berita itu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya?" rekan-rekan Sena berbicara tanpa pernah memikirkan bagaimana perasaan Sena ketika mendengar berita yang sejenis.

"Menurut ngana?" rekan dari pulau Sulawesi itu menyahut. "Kita TNI, mana mungkin rekan kita gugur, kita tidak tahu? Yang gugur tiga itu saja sudah, jangan lagi."

"Iya, cukup euy," orang Sunda pun ikut berbicara. "Mungkin orang-orang bersenjata itu hanya ingin menakut-nakuti kita."

"Orang-orang itu maunya apa sebenarnya?" Orang dari Sulawesi itu berbicara lagi.

Semua orang menghela napas.

"Bukan membenarkan, tindakan mereka pasti salah. Tapi pernah berpikir tidak, mengapa mereka menjadi jahat semacam itu? Mungkin mereka kurang perhatian dari kita semua selama ini, mungkin mereka terlalu jauh dari Tuhan yang seharusnya mereka anut, ya, Tuhan mana pun yang mereka ingin percaya."

Mengangguk-angguk, kecuali Sena yang berusaha tidak peduli, tetap mengecek beberapa berkasnya setelah tadi menyempatkan diri untuk belajar materi kuliah hari ini. Baginya, lebih baik menyibukkan diri, dia sudah terlalu banyak disindir tetangga karena terlihat terlalu lemah sebagai seorang tentara. Ya, mulut perempuan di mana saja itu sama. Mau dia istri tentara atau bukan.

"Tapi yang Raider meninggal itu katanya dari sebelah ya?" Lagi-lagi pembicaraan semakin jauh.

Sebelah itu sudah pasti Yonif 400/BR, memang hanya bersebelahan markasnya.

"Katanya begitu. Tapi belum tahu, Danton, kan?"

Tiba-tiba ada yang menarik tangan Sena, membawanya keluar, Rini.

"Izin, ada apa ya, Kak?" tanya Sena.

"Aku lapar, kita makan di luar ya? Nggak ada teman," jawab Rini. Sebenarnya dia masih cukup kenyang untuk makanan tadi pagi, dia hanya beralasan agar dapat membawa Sena keluar dari ruangannya.

"Tapi kan..."

"Tak apa, di luarnya cuma di luar ruangan kok. Kita ke taman depan, aku sudah pesan online tadi."

Sena mengangguk.

"Eh, kamu di rumah dengan Tante dan sepupumu?" tanya Rini sembari berjalan menuju taman depan.

Mengangguk. "Iya."

"Itu dari adiknya Papamu atau Mamamu?"

"Dua-duanya," tersenyum tipis.

"Bagaimana bisa?" Rini bingung. "Satu keluarga memangnya Papa dan Mamamu? Soalnya kan bisa, misalkan kamu menikah dengan sepupumu, hanya tidak biasa saja dilakukan."

Sena tersenyum lebih lebar. "Suaminya Tanteku itu dulu anggota regunya Papa, jadilah seperti dianggap adik sendiri oleh Papa dan Mama. Aslinya orang Bandung, tapi memilih menetap di sini dengan keluargaku."

Rini mengangguk-angguk paham. Meskipun tidak penting sebenarnya informasi itu bagi Rini, tapi dia berhasil mengganti topik pikiran Sena meski pun hanya sebentar saja.

AsmaralokaWhere stories live. Discover now