61. Bila Nanti Saatnya Telah Tiba

4.3K 515 55
                                    

Mustahil setiap perempuan tidak memimpikan sebuah pernikahan, mustahil cita-cita mereka bukanlah menikah, semua pun begitu. Mungkin ingin menjadi guru, dokter, ustazah, penulis, tetapi pasti, semua ingin menjadi istri dan ibu. Begitupun Ayara, ia yang telah memimpikan gaun pengantin sejak ia masih kecil. Memimpikan berjalan anggun menuju pelaminan, menggandeng tangan suaminya di depan tamu undangan. Masa kecil selalu ia bayangkan demikian, betapa cantiknya dia nanti.

Berulang kali Ayara tersenyum di depan kaca kecil di dalam mobil, bersama Ayah dan Bundanya. Beginilah gurat wajah yang dia impi-impikan di masa kecil, beginilah senyum yang ia impi-impikan di masa kecil, begini pula lah kebaya putih menjuntai yang ia impi-impikan. Sungguh impian yang akhirnya menjadi kenyataan.

"Kamu terlihat amat sangat bahagia, Nak," tegur Ayahnya yang mengenakan jas yang amat sangat rapi. Terkesan sama tegasnya dengan kala Letjen TNI Anggodo Rusmanto mengenakan seragam berpangkat bintang tiganya.

"Sangat, tapi deg-degan, Ayah."

Mengusap punggung Ayara. "Pasti, tapi nanti akan semakin bahagia. Bila saatnya telah tiba," seloroh beliau.

Ayara tertawa. "Boleh Ayara peluk Ayah?"

Mengangguk. "Tentu, bukan kah itu yang selalu Ayara lakukan?"

Mengangguk, lantas menghambur ke dalam pelukan Ayahnya.

Akad nikah akan dilaksanakan di Masjid Agung Al-Azhar yang terletak di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Masjid megah yang sering kali membuat Ayara kecil merasa takjub. Bangunan besar yang tidak pernah sepi, itu yang sebenarnya membuat dirinya takjub.

Sesampainya di pelataran Masjid, Ayara langsung di arahkan masuk, Adhit sudah menunggu di dalam sejak lima belas menit yang lalu. Meskipun acara juga baru akan dimulai sepuluh menit lagi.

Ayara melangkah pelan, dituntun Ayah dan Bundanya, diikuti beberapa kerabat, serta beberapa pejabat. Sementara Adhit duduk gelisah di tempatnya, gelisah salah ucap ketika akad nikah. Bukan kah semua laki-laki mengalami itu? Entah sudah atau akan.

"Lihat calon istrimu," bisik Mama saat mendapati calon menantunya berjalan anggun ke tengah-tengah masjid.

Adhit menoleh, beku lah semua kegugupannya, bertahan beberapa detik, kemudian jantung bekerja lebih buruk lagi. Debarnya menggetarkan, mengurangi kemampuan otak untuk fokus.

"Jangan gugup," bisik Mama. "Untuk bisa memiliki perempuan itu, cukup dengan kalimat mengingat, Dik. Jangan gugup."

Mengangguk, menghela napas. Lalu berdiri hendak menyambut rombongan. Sempat pula memberikan hormat pada calon ayah mertuanya. Disambut dengan balasan hormat dan cengkraman kuat di bahu Adhit.

Ayara terus tersenyum di sebelah ayahnya, bahkan hingga dia duduk di samping Adhit dengan berstatus mempelai  perempuan.

Melakukan beberapa proses, mengisi beberapa data untuk kebutuhan KUA, mengecek semua mahar. Satu hal yang unik, Ayara meminta mahar sebuah buku Sukarno an Autobiography as told to Cindy Adams cetakan pertama tahun 1965, bekas, namun nilainya cukup tinggi. Adhit mencari yang benar-benar masih dapat dinikmati Ayara, dalam artian kondisi yang masih bagus, dengan nilai 1.500.000. Untung saja, masih ada toko online yang menjualnya meskipun harganya begitu tinggi, wajar juga karena cetakan pertama nilainya lebih dalam. Sebenarnya juga Ayara hanya meminta buku dengan judul itu, tetapi Adhit memilih cetakan pertama yang baginya lebih berharga.

Tibalah Letjen TNI Anggodo Rusmanto menjabat tangan Adhit dengan kuat. Dua laki-laki yang sedikit kurang komunikasi, hendak saling menyerahkan dan menerima tanggung jawab terhadap Ayara Dineshcara Alisha.

"Ananda Adhitakarya Nagara Bhakti, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri tunggal saya, Ayara Dineshcara Alisha binti Anggodo Rusmanto dengan maskawin buku Sukarno an Autobiography as told to Cindy Adams cetakan 1965 serta seperangkat alat salat dibayar, tunai!" Menggoyangkan tangan jabatan tangan mereka dengan tegas.

AsmaralokaWhere stories live. Discover now