15. Yogya Derita

3.3K 445 16
                                    

Dalam perjalanannya, Sena menggenggam pin merah putih kecil. Milik Adhit ketika dia menjadi Paskibra Kabupaten Karanganyar masa itu. Diberikan pada Sena ketika sang Kakak lulus PA PK, tidak mengatakan apapun, bahkan tidak memberitahu Sena bahwa dia yang sengaja menaruh pin merah putih itu di seragam PDU Sena, usai pelantikan, usai seragam itu menggantung di almari pakaian rumahnya. Dan mulai saat itu, pin merah putih kecil milik Adhit selalu ada di ransel Sena.

"Kamu itu takut kenapa, Sen?" bisik Lettu Rini.

"Em," Sena terlalu malu untuk mengatakannya.

"Takut mati?" tanya Rini mengeraskan suaranya.

Orang-orang yang berada dalam angkutan TNI AD itu menoleh pada Rini dan Sena. Kemudian tertawa seadanya.

"Kenapa tentara harus takut mati padahal setiap hari yang dia pakai kain kafan, yang dia injak tanah kuburan, dan Tuhan tidak pernah meninggalkan?" seloroh seorang dokter TNI yang duduk paling depan, berpangkat Kapten, mungkin sebentar lagi naik pangkat dan pindah tempat tugas.

"Ehh, jangan begitu, Bang. Sena baru pertama tugas dalam misi. Lebih dari 3 tahun dia cuma jagain Kodam. Penunggunya Kodam dia," sambar Dokter TNI lainnya berpangkat Lettu.

Menunduk, mencengkram kuat pin di tangannya.

"Sen, sekali kamu berangkat misi kemanusiaan, kamu akan kecanduan dengan pelukan mereka. Tak perlu lah takut mati," kata Dokter TNI berpangkat Kapten tadi.

Menghela napas panjang. "Bukan takut mati sebenarnya, Bang. Lebih pada, belum sempat menemui Mama, belum banyak waktu sama Adik juga. Enggak, cuma khawatir," jawabku tersenyum tipis.

"Aduh, sudah biasa. Tentara mana ada waktu lebih. Tentara mengharap waktu lebih? Itu lucu. Tentara bukan manusia yang bisa rebahan. Meskipun orang bilang kita tidak  ada kerjaan, tapi kan kita yang menjaga tidur mereka. Tak apa lah, Sen," lagi-lagi si Kapten menyahut.

Iya, aku lucu sekali. Masuk dalam keluarga besar TNI AD bukan hanya karena keinginan Papa. Ini juga langkah terbaik pengabdianku pada negeri ini setelah kehilangan Papa. Memanglah, terkadang beberapa tentara juga takut dia tidak kembali dari misinya, manusiawi. Tetapi dia akan tetap berangkat dengan motivasi lebih.

Perjalanan panjang bersama banyak rekan, berbeda pangkat tak pernah membatasi para tentara itu bersenda gurau di dalam kendaraan. Bukan kendaraan yang nyaman, tidak seperti alit yang menunggang sedan. Hanya truk biasa yang mulai menua.

Sampai di Yogyakarta, tepatnya Bantul, yang nampak bukan lagi pemandangan indah namun duka serta derita. Beberapa bangunan rata dengan tanah, beberapa anak kecil tertegun menatap lingkungannya, beberapa orang tua menggandeng anaknya dengan pakaian yang lusuh. Yogyakarta sungguh tidak dalam keadaan baik-baik saja, dan negara ini tengah terluka.

Sena dengan matanya yang mulai panas dan hatinya yang terpukul benda tumpul terus saja memperhatikan apa yang bisa dia perhatikan. Beberapa anak bahkan berlari mendekati truk yang masih melaju ke tempat tujuan. Sebuah lapangan desa di Bantul.

"Sen, kita di sini bukan hanya untuk urusan duniawi tetapi juga untuk urusan perihal surgawi. Laksanakan tugasmu sebagai putri dari negeri ini dan hamba dari Panglima tertinggi sebaik-baiknya," Rini menepuk bahu Sena dua kali sebelum truk angkut ini benar-benar berhenti di lapangan desa.

Sena menarik napasnya dalam-dalam.

"Nikmati semua momenmu bersama mereka, kau akan benar-benar mengerti mengapa rakyat ialah Ibu Kandung kita," ucap Rini melompat turun dari truk.

Puluhan anak menyambut, bukan teramat bahagia karena para tentara datang. Mereka tentu dalam keadaan trauma dan tidak sempat lagi berbahagia. Gempa dahsyat baru saja terjadi, bukan sudah berhari-hari. Anak-anak menghampiri rombongan hanya untuk satu harapan, bantuan makanan, pakaian ataupun obat-obatan. Tak hanya anak-anak, para orang tua pun mendatangi truk mengharapkan banyak bantuan.

AsmaralokaWhere stories live. Discover now