26. Semu

3.3K 433 28
                                    

"Ameera," sapa Sena dengan begitu riangnya.

Hari ini, dia adalah ratu yang kebahagiaannya tidak dapat dibeli dengan dolar. Wajar jika dia menebar banyak senyum dan tawa. Namun dia lupa, bahwasannya hidup tidak selalu perihal tawa. Roda kehidupan pasti berputar. Rumah tangga yang terlihat baik-baik saja dan menyenangkan juga pasti menyimpan bara yang sesekali meletup. Dalam bayangan Sena yang masih kekanak-kanakan, pernikahan adalah sesuatu yang menyenangkan, tanpa halangan dan rintangan.

"Kak," balas Ameera mencium pipi kanan dan kiri Sena. "Sudah nikah, padahal dulu mainnya sama aku."

"Iya, habis ini giliranmu sama Adhit ya?" goda Sena.

"Dia sama Alina!" ketus Ameera.

"Hah? Kata Sena, si Adhit pilih kamu," sambar Yudha.

Ameera mengerlingkan matanya. "Adik Kak Sena tuh. Bikin kesel, bilang mau pinjam namaku, masa yang disebut Alina. Jadi yang mau dipinjam buat doa itu aku atau Alina?"

Pelaminan justru menjadi tempat paling rumpi hari ini. Padahal antrian masih beberapa, para tamu undangan juga masih sibuk menikmati hidangan dan menatap dua pengantin yang tengah berbahagia. Tetapi curhatan ini penting, sepenting laporan seusai misi.

"Kamu suka sama Adhit?" seru Yudha.

"Ya, enggak. Lagian dia aneh, kok tiba-tiba dia pilih aku tanpa jatuh cinta dulu, Kak? Alasannya suka sama aku. Aneh juga, selama ini kita teman kok tiba-tiba suka. Tapi tetep, yang paling ngeselin, bilang suka sama aku, tapi yang disebut Alina. Itu sebel banget sih, aku. Serasa pengen bunuh tapi gimana, masa kecilku penuh dengan khotbahnya."

Sena dan Yudha saling pandang, lalu tersenyum.

"Kalau memang nggak suka sama Adhit, nggak usah marah kalau dia nyebut Alina," kata Yudha lagi.

"Loh, nggak bisa gitu. Laki-laki harus tegas, mana yang dia pilih! Jangan lembek! Kan kaya merendahkan aku, Bang Yudha. Bilang pilih aku tapi ternyata yang ada dipikiran itu perempuan lain. Merendahkan banget emang!" keluh Ameera dengan wajah cemberutnya.

Lagi-lagi Yudha dan Sena hanya tersenyum.

"Nasihatin dia, Kak. Kumohon!" menggenggam tangan Sena.

Sena hanya mengangguk.

"Cepetan dong, Mbak!" tegur Ibu-ibu di belakang Ameera, sepertinya teman Mama Agni ketika masih rutin mengelola bisnis kuenya.

"Oh, maaf, Bu. Kak, Bang, selamat," menjabat tangan kedua mempelai untuk kedua kalinya. "Selamat juga menikmati berbagai badai yang akan menerpa."

"Siap!" jawab Yudha dan Sena kompak.

Ameera berlalu, seiring dengan berlalunya beberapa tamu untuk mengucapkan selamat, seiring, sejalan pula dengan gerak mata Adhit mengikuti langkah Ameera. Ke mana Ameera pergi, ke sana lah retina mata Adhit bercahaya menatapnya.

Acara usai, begitu melegakan telah melewati satu acara yang menjadi impian banyak orang. Selalu, akhir dari semua impian sebelum surga ialah menikah. Sama seperti Sena yang selalu mendambakan Yudha sebagai suaminya, dan terwujud.

"Sekarang apa-apa ngikut suami, nggak semaunya sendiri," kata Yudha sembari berganti baju.

Sena yang masih di depan kaca, menghapus make up-nya dengan micellar water menengok ke belakang. "Tapi kalau sedang berseragam, aku kan harus ngikut Panglima, Kak."

Yudha pun menoleh, menghela napasnya. "Iya, bagaimanapun negara memilikimu, kamu juga seorang istri yang memiliki kewajiban pada suaminya. Kalau dikasih tahu, masih saja banyak menjawab."

AsmaralokaWhere stories live. Discover now