38. Janji Kepulangan

3K 450 51
                                    

Kurang lebih 4 bulan semua masa sulit itu justru semakin sulit. Benar konflik Papua mereda, seruan untuk tidak diskriminatif, seruan untuk kesetaraan HAM, mulai mereda di Timur, meski gejolaknya abadi di setiap sisi negeri. Orang-orang kolot itu belum berubah, telah mendarah daging sebagaimana budaya dalam suatu negara. Membenci, diskriminatif, intoleran, pelanggaran HAM, sudah semacam budaya bagi mereka.

Sena, lalu bagaimana dengan Sena? Ya, dia masih dengan kebiasaannya, menunggu sang suami pulang di teras penantian. Bedanya, mungkin penantian itu tak sia-sia, mungkin juga yang terakhir. Tak ada yang lebih baik dibandingkan berkhayal suaminya datang dengan senyum manis. Namun selalu patah dengan kenyataan bahwa suaminya akan kecewa ketika pulang nanti. Janji kepulangan itu seperti sesuatu yang menyenangkan, tetapi begitu menghancurkan.

"Mas Yudha katanya pulang malam ini, Ma," kata Sena setelah tadi pagi mendapat pesan dari suaminya.

"Alhamdulillah, apa dia sehat?" tanya Mama yang ikut duduk di sebelahnya.

"Sena tidak membalas pesannya. Jadi, Sena juga tidak bertanya bagaimana kabarnya."

Mama menghela napas. "Sudah pasti suamimu pulang selamat, bukankah lebih baik menunggu di dalam?"

Menggeleng. "Mama istirahat aja di dalam. Takutnya masuk angin lagi seperti Minggu lalu."

"Tidak, Mama di sini denganmu."

Tak ada pilihan lain, kecuali sama-sama menunggu di teras rumah, dengan topik pembicaraan yang tidak pernah ada habisnya. Menyelami masa lalu, mengilhami setiap permasalahan yang pernah terjadi, meskipun amat sangat lampau. Sena belajar bagaimana Kartini bisa memerdekakan perempuan, belajar bagaimana Inggit ikhlas menemani suaminya dalam pengasingan, belajar bagaimana Fatmawati gigih menemani suaminya pada masa kemerdekaan, belajar bagaimana Ainun melepaskan mimpinya demi bersama sang suami. Belajar banyak hal yang mungkin juga dipelajari banyak orang.

"Dari semuanya, Sena tetap mengagumi Inggit," katanya menerawang jauh.

"Sama seperti Adhit," balas Mama.

"Terlepas dari malam itu Inggit hanyut dalam pelukan Soekarno sementara Haji Sanusi sedang tidak di rumah. Terlepas dari kesalahan yang mereka perbuat. Kupikir Inggit sosok yang komplit, beliau adalah ibu, kekasih, dan sahabat bagi Soekarno. Ke mana pun Soekarno diasingkan, di sana lah Inggit membersamai. Inggit menjual apa pun yang beliau punya untuk biaya perjuangan Soekarno. Inggit tak menuntut balas, mengikhlaskan, dan melepaskan. Inggit seorang istri yang komplit bagi Soekarno, Sena juga ingin semacam itu. Meskipun kisah cintanya Inggit tidak sesempurna Habibie Ainun."

Mama tertawa kecil. "Kamu sudah mengatakannya puluhan kali, Sena."

Sena menoleh, ikut tertawa kecil. "Sena lupa sudah mengatakannya, saking kagumnya Sena dengan beliau. Tapi yang pasti Sena nggak mau kalau akhir kisahku juga sama dengan Inggit. Ah, bagaimanapun Sena bukan istri yang sempurna, suami Sena juga bisa berpaling kapanpun dia mau."

"Eh, tidak boleh begitu."

"Kenyataannya, Ma," tersenyum.

Dua perempuan itu tidak menyadari bahwa tengah malam telah terlewati, dan mereka masih duduk bercengkrama, bercerita soal sejarah Indonesia dan kisah cinta indah di dalamnya. Sena bahkan telah lelap di bahu mamanya. Tidak mungkin bagi Mama menggendong anaknya masuk ke dalam, atau sekedar memapahnya juga tidak mungkin. Maka beliau biarkan Sena terlelap sampai puas, baru akan membangunkannya untuk berpindah ke dalam rumah.

Tak lama, sorot cahaya motor mendekati rumah, dua orang tentara berseragam. Satu orang dengan seragam lusuh dan ranselnya yang besar, seorang lagi begitu rapi dengan seragam yang bersih.

AsmaralokaWhere stories live. Discover now