4. Alina Mudah Jatuh Cinta

5K 483 19
                                    

Sena bersama berkas-berkas laporan hasil psikotes calon Bintara, termenung menikmati dersik di depan ruang staf. Menghembuskan kerinduan yang membeku, mengenyahkan kekhawatiran yang memuai. Terhitung 8 hari sudah Yudha di Papua. Kabar televisi menyampaikan Papua aman kembali, kesalahpahaman mampu diredam tetapi pasukan belum bisa kembali untuk berjaga selama masa darurat. Beberapa laporan angin mengatakan, 2 prajurit TNI dan 2 prajurit Brimob gugur. Tetapi angin yang membawa kabarnya, bukan laporan bukti nyata.

"Dik Sena," sapa Anggika dari belakang, kekasih Letda Pras. "Kamu galau nunggu Yudha ya?" godanya seperti tak ada beban. Padahal kekasihnya juga ada di misi yang sama.

"Memangnya Mbak Anggika tidak?"

"Khawatir sih iya, galau sih tidak," katanya terlihat tenang.

Pikir Sena, mungkin karena Anggika lebih tua, maka lebih dewasa menyikapi kekhawatirannya. Ya memang, Anggika dan Pras saja lebih tua Anggika 2 tahun.

"Kalau kamu dekat dengan Tuhanmu, percaya atau tidak, apapun ujiannya, Dia tentramkan hatimu," menyentuh dada Sena. Arti bahwa Allah SWT selalu menentramkan hati jika kau letakkan Dia di sana.

"Pikiran akan kehilangan memang selalu ada, Dik. Tapi kedatangan dan kehilangan itu sudah digariskan Tuhan pada saat nama kita masih si Fulana. Selalu mengkhawatirkan dan menggalaukan itu bukan cara tepat untuk menyelamatkan mereka, doalah yang menyelamatkan."

Sena menahan malu. Anggika ini PNS TNI, setidaknya tidak seperti Sena yang paham betul betul bagaimana TNI bekerja di lapangan. Ia bisa sedewasa itu menyikapi, tetapi Sena justru sulit menerapkannya, meski dia tahu, perang dan menjaga keutuhan negara adalah tugas utama, dan kehilangan adalah risiko terbesarnya.

"Mereka itu berjuang bukan untuk diri mereka, kebanggaan mereka meski panggilan tugas adalah kebanggaan seorang prajurit, tapi misi adalah kewajiban prajurit bagi negaranya. Mereka kan bukan milik kita, Dik, milik negara. Dalam waktu apapun negara memanggil, mulut mereka hanya bisa mengatakan siap. Tidak ada alasan dan alibi untuk lari. Dalam sumpahmu kan sudah dikatakan to?"

Sena mengangguk. "Makasih ya, Mbak. Jadi malu sendiri. Aku ini tentara, tapi tetap sulit menerima kalau kekasihku harus melakukan tugasnya."

Anggika tersenyum, mengusap punggung Sena. "Kamu ini tentara, tapi juga perempuan, perasaannya lebih dalam dari apapun. Tak apa, kita tunggu masa siaga berakhir."

Mengangguk dan menyimpulkan senyum, sembari membiarkan Anggika masuk ke dalam kantor staf.

Kepak merah putih di ujung tiangnya membangunkan Sena dari kegalauan. Ia sungguh indah di atas sana, bagaimana bisa kita semua biarkan merah putih diturunkan paksa?

"Kulihat Ibu Pertiwi sedang bersusah hati..." gumamnya kecil lantas tersenyum. "Aku putrimu, telah berjanji mengabdi sepenuh hati untukmu, demi engkau agar tak menangis lagi. Dan aku pun, mengikhlaskan jika aku harus memupuk rindu demi damainya Indonesiaku."

"Uhhh tersentuh aku," celetuk Alina di belakang punggung Sena.

"Alina, sejak kapan?" tanya Sena antara malu dan malu, iya, malu sekali.

"Sejak Kak Sena galau berlipat-lipat," katanya sedikit mengejek, sambil duduk di sebelah kiri Sena. "Maaf ya, Kak. Nggak tahu kalau Bang Yudha itu pacar Kak Sena. Ya habisnya gimana, Bang Yudha juga bikin baper."

Sena menoleh cepat. "Bikin baper gimana? Ngajak makan berdua?"

Menggeleng. "Nggak cuma itu aja, Kak. Kadang juga ketawa, gombalin, ya gitulah."

"Hah, gombal apa?"

"Ya kaya bilang aku cantik, bilang masa' iya cantik-cantik jomblo."

"Hah?"

Asmaralokaحيث تعيش القصص. اكتشف الآن