31. Krisis Perdamaian

3K 414 46
                                    

Mari kita kembali pada prolog awal yang telah diceritakan, di mana Sena menangis tersedu di depan rumah dinasnya. Kala hujan tengah lebat-lebatnya, dua hari usai diserukan perang melawan kelompok bersenjata, usai semalam menemukan sepucuk surat dari suaminya di atas meja, dan satu hari usai kematian dua prajurit bangsa. Malam di mana dia ingin mengambil senjata laras panjang di gudang dan menyusul suaminya.

"Kenapa aku tidak sekuat Mama?" kalimat itu terus bergejolak setiap kali menatap fotonya bersama Mama Agni.

Sena duduk di ujung tempat tidurnya, menggenggam lagi sepucuk surat yang ditinggalkan suaminya.

Teruntuk istriku,
Wanita terhebat setelah Mama dan mertuaku.
Jika saja aku bisa menghindar
Aku akan menghindar
Jika saja aku mampu
Sudah sejak dulu aku tidak bermimpi menjadi seperti papamu
Aku teramat mencintai negeri ini
Sama seperti seorang Gibran Angkasa Nusa yang telah bergelar anumerta
Aku pergi untuk pengamanan
Tetapi tidak mungkin jika hanya diam ketika negaraku diguncang krisis perdamaian
Apa pun itu
Jika aku harus mengangkat senjata
Ikhlaskan, ungkapkan saja rayuanmu pada Tuhan
Dan jika aku harus pergi di lain sisi
Tidak ada yang salah dari penugasanku
Tidak ada yang salah dari pemanggilanku oleh negaraku
Satu-satunya yang salah adalah aku yang gagal memimpin pasukanku
Aku yang gagal mengarahkan pasukan untuk kembali dengan selamat
Aku yang gagal melindungi negaraku dari krisis kesadaran untuk damai
Ingatlah, satu-satunya yang salah adalah aku.

Suamimu,

Manggala Yudha

Sena merebahkan tubuhnya, menikmati setiap titik air yang jatuh dari ujung matanya. Ia terbiasa menghabiskan tangisnya sepanjang malam, supaya ia dapat tersenyum sepanjang hari sebelum gelap. Terlebih, sejak misi pengamanan berganti pada misi peperangan. Bukan memerangi untuk membunuh, tetapi menghentikan untuk memulai negosiasi. Tetapi siapa yang menjamin tidak akan ada yang terluka jika salah satu telah menarik pelatuk senjatanya?

Mata yang sayu itu berangsur lelap, di bawah remang cahaya yang seolah mengerti kondisi si empunya. Lampu yang biasanya begitu terang, kini redup seakan telah sampai di akhir masa pijarnya.

Lelapnya hingga pagi, hingga subuh tiba dan waktunya ia merayu Tuhan untuk sang suami. Tidak ada rayuan lain, kecuali kesehatan keluarganya, janin dan tentu keselamatan suaminya dalam misi. Rayuan yang dia lupakan hanyalah rayuan untuk kelancaran kuliah S-2. Sering kali dia lupakan. Apalah arti gelar baginya, jika itu semua tak membuat suaminya kembali. Sepicik itu terkadang dia pikirannya.

Pagi ini dia bebas tugas, tidak juga ada jadwal kuliah. Ia sengaja mengambil jadwal kuliah di hari-hari biasa, agar minggunya dapat menikmati sedikit waktu luang bersama sang suami. Meski lebih seringnya habis untuk tugas di militer.

Sedikit membersihkan rumah, memesan makanan karena ia enggan memasak, berolahraga kecil, meminum susu untuk kebutuhan janinnya, Sena kembali lunglai di atas tempat tidurnya. Tidak ingin menangis, ia hanya ingin terlelap dan sedikit melupa. Ia pasang alarm di ponselnya tepat pada waktu adzan Zuhur biasanya.

Dua jam Sena terlelap, pukul 11.00 WIB tepat ketika sang Mama baru saja datang dan masuk ke dalam kamar Sena. Pintu rumah dinasnya ternyata lupa dia kunci, setelah sang Mama mengetuk pintu dan mengucap salam berulang kali. Mama diantar Kak Obes ke Semarang, usai beliau mendengar kabar dari Adhit.

Ya, Adhit telah berjanji untuk bungkam, perihal kehamilan, tetapi Adhit tidak bisa hanya diam perihal Yudha yang harus berangkat ke Papua. Puncaknya semalam ketika Sena mengeluh tentang daerah konflik yang semakin runyam.

"Astaghfirullah, tembak mati adikmu itu,  Obes. Bisa-bisanya dia diam dua Minggu lebih soal kondisi Sena. Tembak mati juga suami Sena itu!" ujar Mama Agni yang 180° berbanding terbalik dari sebelum-sebelumnya, saat melihat Sena meringkuk di atas tempat tidur dengan mata bengkak yang tertutup.

AsmaralokaWhere stories live. Discover now