60. Bintang Itu Terlalu Besar

3.8K 514 46
                                    

Tidak ada kolusi yang disengaja, tidak ada pun yang meminta. Tidak ada yang ingin mendapatkan perlakuan spesial, tetapi bintang tetaplah bintang yang begitu besar. Terkadang menyinari, terkadang pula justru menghambat cara pandangmu. Agaknya, Adhit dan Ayara terlalu terhalang bintang yang begitu besar.

Tak ada pula instruksi khusus dari Letjen TNI Anggodo Rusmanto yang meminta beberapa pejabat militer mempermudah jalannya pengajuan. Tidak ada sama sekali, bahkan Ayah Ayara terlalu sibuk di kampus yang dipimpinnya, kampus yang rata-rata mahasiswanya ialah TNI, meski sipil pun diperbolehkan. Kampus yang diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2009 itu memang tengah banyak kegiatan, banyak yang harus dipersiapkan untuk laporan pada Kemenhan. Katakanlah, tidak banyak waktu untuk Ayah Ayara memohon-mohon untuk dilancarkan segala kebutuhan anaknya.

Namun yang terjadi adalah, ketika Ayara mulai menjalani proses pengajuan sama seperti yang lainnya. Baru datang ke Koramil saja sudah langsung mendapatkan kalimat, "Anaknya Letjen TNI Anggodo Rusmanto ya?". Seakan-akan, berita lamaran Adhit dan Ayara telah tersebar melalui grup WhatsApp ataupun Telegram.

Pada awalnya, Ayara merasa biasa saja, mungkin karena koramilnya tidak jauh dari tempat Ayara tinggal. Namun, semakin tinggi proses pengajuan yang dia lakukan, dia tetap mendapatkan kalimat yang sama. Lalu mendapati proses yang lebih cepat, jalan yang terkesan mulus dan tidak terlalu memberatkannya.

Ketika Ayara protes pada ayahnya, dia  mendapatkan jawaban, "Ayah tidak pernah meminta dilancarkan, Nak. Sungguh. Sedikitpun. Ayah tidak menghubungi siapa pun juga." Lalu Ayara nampak kecewa, bukan pada ayahnya, pada perlakuan yang ia terima.

Sementara di Tegal, ketika Adhit mengurus berkas di kantornya, dia mendapati hal yang kurang lebih sama. "Oh, calon menantunya Letjen TNI Anggodo Rusmanto ya?" Begitulah kiranya.

Awalnya tak masalah, baiklah, memang kenyataannya Adhit adalah calon menantu Jenderal Bintang Tiga itu. Tetapi mulai tidak nyaman seiring berjalannya waktu, hampir semua kalangan melontarkan kalimat itu.

"Wah, gila sih, Ndan. Kita pikir kita ini dekat, ternyata tidak begitu kenyatannya," kata Anjar yang hendak memaki-maki Dantonnya itu.

Dia dan Danang baru tahu, usai salat Jumat di masjid tadi. Dari teman-temannya yang sibuk membicarakan Adhit, calon menantu Jenderal Bintang Tiga yang tengah pengajuan.

"Gila lah, Ndan. Lamaran nggak bilang-bilang juga. Kita tahunya saja terlambat sekali. Ndan, kita ini apa sebenarnya?" Danang pun ikut protes sembari duduk bersila di depan Adhit yang duduk di atas bangku panjang.

Adhit menghela napasnya. "Duduk, Anjar!"

"Siap!"

"Kalian ini berisik sekali lah. Tambah pening kepala saya!"

"Siap salah!" Keduanya kompak, seperti biasa.

"Jadi begini ceritanya..." Adhit menceritakan dari awal hingga akhir, membuat dua anggotanya mendengarkan dengan seksama, sesekali terhanyut oleh kalimat manis yang Adhit lontarkan.

"Jadi Bu Guru suka sama Komandan sudah sejak dari Akmil?" Anjar dan Danang kompak lagi.

Adhit mengangguk. "Tapi bukan itu masalahnya sekarang. Bintang itu terlalu besar. Sama seperti yang pernah saya katakan ke kalian waktu di Entikong, saya juga minder dengan kenyataan bahwa ayah Ayara seorang Pati TNI."

"Anaknya mau ini, Ndan!" Anjar menyambar.

"Saya merasa sedikit diremehkan, Anjar. Saya jadi seperti dispesialkan, seperti melakukan kolusi padahal saya tidak melakukannya. Saya mau seperti yang lain, melewati proses pengajuan yang menegangkan. Bukan yang justru lurus saja, dan terkesan memalukan."

AsmaralokaUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum