48. Bersih-bersih Luka

3.2K 457 53
                                    

Pagi ini setelah penyerahan barang bukti yang diselundupkan, setelah melalui sesi foto untuk dilaporkan, Adhit dan anggotanya langsung ditugaskan memberikan edukasi ke sekolah, serta peninjauan sekolah dari Komandan Satgas Pamtas. Kabarnya kondisi  ruang kelas cukup memprihatinkan, maka dilakukan peninjauan agar dapat diajukan pembangunan ke pusat. Atau mungkin mengajukan donasi ke beberapa TV Swasta yang mulai peduli dengan perbatasan.

Kegiatan hanya berlangsung satu jam di kelas yang tidak memiliki guru tetap, kelas III, ruangan pun harus berbagi dengan kelas IV. Guru terbatas, ruang terbatas, murid pun terbatas.

Sepanjang kegiatan itu, Ayara sesekali melirik Adhit yang mengajar di sebelahnya. Tentang pengetahuan kebangsaan dan motivasi pendidikan, dibantu beberapa anggotanya di dalam kelas. Bukan, bukan karena Ayara terpesona, lebih pada luka yang ada di wajah Adhit, membuatnya berpikir yang tidak-tidak.

Selesai acara, selesai pula Ayara mengajar, dan murid-muridnya telah pulang. Waktunya dia membereskan kelas,lalu bergabung dengan Jajaran Satgas Pamtas untuk bersama-sama memikirkan pengajuan anggaran ke pusat.

"Itu wajah kenapa?" bisik Ayara ketika dia duduk di sebelah Adhit, sembari memegang sebuah kotak kecil.

Adhit hanya menoleh sekilas, tidak menjawab.

"Gara-gara semalam?" tanya Ayara lagi.

Menoleh lagi, lalu memberikan kode pada Ayara untuk diam dengan telunjuknya.

Ayara mengangguk tapi mata itu tetap tidak fokus, beberapa detik sekali dia melirik luka, membuat tangannya gatal.

"Ay, fokus!" kata Adhit mulai risih dengan lirikan Ayara.

Acara selesai dan pasukan diperbolehkan kembali, diperbolehkan pula untuk menikmati daerah sekitar. Sebagai bentuk penghargaan telah menyelesaikan tugas dengan baik semalam, toh anggota yang dibawa Adhit saat ini tidak dalam waktu jaga.

Adhit, Danang, Anjar, Prada Setiawan dan Prada Reski, memutuskan untuk menikmati suasana di dekat sekolah. Danang, Anjar, Setiawan dan Reski berfoto-foto, menciptakan kenangan cetak yang akan mereka kenang serta ceritakan pada anak cucu di masa depan nanti. Adhit, dia duduk dan memfoto setiap momen tingkah polah anggotanya. Dia tidak perlu gambar dirinya terpampang, dia lebih suka potret orang lain yang membersamainya.

Membawa buku "A Prince in a Republic" karya John Monfries dan sebuah kotak kecil yang sejak tadi ditentengnya, Ayara mendekat ke arah Adhit. Duduk di sebuah bangku usang, tidak digunakan karena kelebihan tempat duduk di dalam kelas, kata lain dari kekurangan murid. Dia langsung membuka kotaknya, menyiapkan obat merah dan kapas disaat Adhit tidak peduli dengannya. Laki-laki yang hendak sembuh dari patahnya itu sibuk tertawa kecil oleh tingkah polah anggotanya.

"Awww," jerit Adhit karena kaget oleh sentuhan Ayara pada luka di pipinya.

"Maaf, Mas. Cuma mau kasih obat," katanya menunjukkan kapas yang basah oleh obat merah.

"Ay, kalau aku tikung kamu dari pacarmu, boleh, kan?" tanya Adhit dengan mata tajamnya.

Ayara tidak bisa menjawab, hanya bisa menelan ludahnya.

"Kalau boleh akan kulakukan."

Sejujurnya Adhit hanya menggertak, dia  hanya merasa aneh dengan sikap serta kepedulian Ayara padanya. Bukan kah akan menimbulkan rasa? Tidak bisa dipungkiri, cinta hadir dari perhatian, kenyamanan, kebiasaan, dan lain sebagainya. Jika Ayara masih seperti ini, bukan tidak mungkin Adhit juga jatuh cinta. Kenyataannya dia pada Ameera sebelumnya juga begitu.

Tidak kunjung menjawab, Ayara justru mulai mengobati luka Adhit dengan pelan-pelan. Adhit pun tidak memprotes sama sekali.

"Kalau Mas Adhit merasa bisa, tikung saja melalui sepertiga malam serta sujud terkhusyuk yang Mas Adhit bisa. Tapi untuk informasi, pacarku seorang perwira," kata Ayara membuat Adhit menoleh tidak percaya. "Setidaknya setara kan dalam hal pangkat?"

AsmaralokaWhere stories live. Discover now