21

14.9K 4K 1.9K
                                    

"Aduh, pake salah duga segala."

Orang yang Sihoon panggil Jungmo itu semakin kelabakan karena bingung mau berkata apa.

"Lo Jungmo, kan?! Iya kan?!" Tanya Sihoon dengan suaranya yang keras.

"Aduh, gue minta maaf sebelumnya. Gue bukan Jungmo."

"Lah, terus lo siapa?"

Yang ditanya tersenyum canggung seraya mengulurkan tangannya. "Gue Mogu, kembarannya Jungmo. Tolong rahasiain ini, ya."

Sihoon langsung menganga, sejak kapan Jungmo punya kembaran? Mana lebih cakep kembarannya dari pada Jungmo.

Tapi, mukanya rada sepet gitu sih, kayak yoghurt. Jungmo mukanya lempeng, Mogu mukanya sepet, oke sip.

"Se-serius lo? Kok gue baru tau?"

"Jelas baru tau lah, lo kan bukan temen deketnya Jungmo."

Sihoon masih menganga, terlalu terkejut mengetahui fakta yang ada. Gila, otaknya berasa di bolak-balik kayak lagi naik wahana.

Jungmo yang uluran tangannya diabaikan segera berdeham dan menurunkannya. Seketika Sihoon tersadar, lalu tersenyum merasa bersalah.

"Sorry, gue terlalu kaget sampe gak jabat tangan lo."

"It's okay. By the way, gue mau ketemu Wonjin, lo tau gak dia dimana?"

"Gue kurang tau, coba tanya ke yang namanya Junho. Soalnya gue liat mereka sekarang jadi temen deket."

Mogu menganggukkan kepala lalu tersenyum. "Thanks, gue pergi dulu, ya."

"Eh tunggu bentar, lo mau kemana?"

Lagi-lagi Mogu hanya menunjukkan senyumannya, sebelum menjawab pertanyaan Sihoon, yang mampu membuat Sihoon kebingungan.

"Gue ada urusan di masa yang akan datang, hehe."





















































"Sial, sekarang gue harus apa."

Seseorang melempar pisaunya dengan asal dan menancap di sebuah foto yang terpajang di dinding.

Di dalam ruangan yang minim penerangan itu, dia terlihat menyeramkan dengan seringaian lebarnya.

"Wonjin selamat, Yunseong dibawa pergi sama dia gak tau kemana. Gue harus bunuh siapa?"

Dia mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuknya, seraya berpikir keras siapa target berikutnya.

Tak lama kemudian, dia tersenyum lebar, ketika satu nama terlintas di otaknya.

"Kalo gue bunuh Junho bakal asik nih."














































Malam pun tiba. Lampu jalan mulai menyala, jangkrik-jangkrik mulai bersuara menciptakan irama yang terdengar menyeramkan bila didengar seorang diri.

Tapi tidak bagi Hangyul. Dia berjalan santai menyusuri jalan perumahannya untuk membeli nasi goreng di perempatan.

Dia memakai jaket hitam, celana hitam, sepatu putih, dan dan kaus putih. Rambutnya acak-acakan dan basah karena habis keramas, lalu cara jalannya cool gitu.

Silahkan dibayangkan.

"Sepi amat, kayak hati yang baca."

Hangyul menghela nafasnya kesal.

"Mana besok sekolah, padahal pingin tidur seharian."

Hangyul mempercepat jalannya, perutnya sudah berbunyi, dia kelaparan.

"Gue kan harus siapin energi buat besok. Ya kali gue gak ada persiapan sama sekali."

Walaupun jalanan sepi, Hangyul berani lewat sendirian. Tidak seperti teman-temannya yang lain. Dia mah berani.

Begitu melihat gerobak nasi goreng yang dia incar sejak tadi, dia senyum sumringah.

"Bang, beli nasi gorengnya empat, ya!"

Si penjual nasi goreng mengernyit bingung. "Banyak amat, buat siapa aja?"

Hangyul nyengir. "Buat saya lah bang, ya kali buat abang."

Si abang geleng-geleng kepala sebelum memasak nasi goreng pesanan Hangyul.

Daripada pegal berdiri, Hangyul duduk di kursi yang sudah disediakan untuk pembeli, sembari memandangi sekelilingnya yang sepi.

"Bang, ini orang-orang pada kemana, ya? Kok sepi amat kayak hati-"

"Orang-orang pada takut semenjak berita pembunuhan di sekolah kamu tersebar luas. Dan jangan bilang sepi kayak hati yang baca atau hati saya karena saya sadar diri."

"Hehe, maaf atuh bang, habisnya saya pengen banget bercanda. Tapi temen-temen saya lagi gak bisa diajak bercanda."

Si abang menoleh sesaat, lalu lanjut memasak. "Kenapa memangnya?"

"Kan temen-temen saya kebanyakan jadi korbannya, makanya sekarang suasana lagi tegang-tegangnya. Takut pembunuhnya dateng, bang," jawab Hangyul.

"Ohh, kamu sendiri gak takut?"

Hangyul malah tertawa. "Ya enggak lah bang, nanti saya hajar kalo berani mau bunuh saya," celetuknya.

Si abang menatap Hangyul dengan tatapan anehnya. "Kamu teh kenapa? Kok malah ketawa kayak begitu?"

"Enggak apa-apa, saya cuma ngebayangin si pelaku babak belur di tangan saya. Kalo bisa sih saya bunuh sekalian, tapi jangan deh."

"Jangan main bunuh-bunuhan, dosa besar. Mending kamu pulang, banyak-banyakin berdoa dan minta perlindungan ke Tuhan," tegur si abang sambil memberikan pesanan Hangyul yang sudah jadi.

"Siap bang! Makasih ya bang! Nih duitnya. Kembaliannya ambil aja."

"Ini uangnya gede banget, gak ada uang kecil?"

"Gak ada." Hangyul menggeleng.

Si abang menghela nafas. "Ya udah, kamu mau apa sebagai kembaliannya?"

Hangyul tersenyum lebar. "Serius? Oke deh, sini saya bisikin."

Si abang menurut saja dan mendengarkan apa yang dikatakan Hangyul dengan seksama.

"Gimana bang?"

Si abang hanya diam, dengan tangan yang menggenggam erat sebuah garpu yang tajam.

|2| Laboratorium | Produce X 101 ✓Where stories live. Discover now