1. Sore di Jakarta

5.3K 339 7
                                    

Now i am relize i never love you anymore

Bising dan padat. Seperti berada dalam plastik minim udara, kotor dan seadanya. Semua berebut nafas berebut nikmat, menghela panjang seolah sepaham untuk melepas beban sementara.

Jendela kaca lapuk yang dilap sering tetap tak bisa menutup usia, setiap batang penyanggahnya berdiri rentan menemani Sehun dalam lamunan sore

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Jendela kaca lapuk yang dilap sering tetap tak bisa menutup usia, setiap batang penyanggahnya berdiri rentan menemani Sehun dalam lamunan sore.

Angin berhembus senantiasa berhembus, memberikan kesejukan juga ingatan... masa lalu.

"Eh, Goblog gak balik Lo?"
"Anjir ngagetin gue mulu, sialan."
"Diajakin makan noh, hape Lo jangan cuman jadi pajangan doang. Udah butut tuh ya diganti."
"Beliin bukan cuman ngomong doang,"
"Dih males, gue mening beli kopi dari pada beliin hape buat Lo."
"Mau makan dimana emang?"
"Gak jadi, si Kai udah balik duluan."
"Terus Lo ngapain ke sini?"
"Ngambil tas,"
"Itu doang?"
"Ya balik juga lah, bye!"
"Eh, Wen bareng!"
"Buruan Goblog!"
"Iya."

Terdengar suara barang silih terbanting, itu ulah Sehun yang terburu menyusul langkah Wendy.

Koridor kampus tak lagi ramai jika sore sudah datang, terutama dipertengahan saat matahari menjemput sang bulan untuk berganti jaga.

Mahasiswa rata-rata telah bertemu kasur atau nongkrong manis di kafe terdekat, alih-alih mengerjakan tugas, kenyataanya hanya diisi dengan obrolan keluh kesah tentang kuliah.

Berada dipertengahan tingkat menuju mahasiswa akhir, memang seringkali dilanda pertemuan dengan si jenuh. Ada saja hal yang membuat semua terasa hanya abu-abu, tanpa mau berganti warna memberikan kesan atau sentuhan baru.

"Hun, Lo yang bawa motor ya."
"Gue gak bawa SIM."
"Gampang, kalau ada polisi gue turun elo yang entar gue bonceng."
"Kenapa Lo capek?"
"Engga juga, ya pengen aja gue ngebabuin Lo!"
"Gak kasihan sama gue? Terus aja Lo babuin?"
"Harusnya Lo bersyukur setidaknya Lo dibabuin gue bukan orang lain, gak tau siapa gue?"

Telinga Sehun sudah sangat malas mendengar ocehan Wendy dalam balutan penat aktifitas hari ini. Lalu berapa lama waktu yang Sehun butuhkan untuk menaiki motor? Hanya dua detik, sudah termasuk mengambil kunci dari tangan Wendy.

"Naik! Gue mau balik, buruan."
"Siap babu!"

Sahabat sejoli, sekawan sudah barangkali ada lebih dari satu dekade. Tau bagiamana busuk-busuknya kelakuan title manusia pada diri mereka masing-masing.

Jangankan bicara kentut, bau panggilan alam saja mereka sudah saling hapal.

Keluar dari gerbang, perjalanan antara hidup dan setengah hidup pun dimulai.

Macet, klakson, wajah mengkerut, teriakan beberapa orang tak sabaran adalah makanan yang tak bisa dihindari tiap-tiap pulang kuliah menuju rumah. Tapi Sehun adalah pria tangguh, yang pantang mengeluh menunggu jalan komplek segera ban motor injak, lalu masuk kamar dengan bahagia.

Dalam benak Sehun, gitar kesayangan telah merindu untuk segera disentuh setiap lekuk senarnya. Ada yang belum ia selesaikan dan berharap kebahagiaan lain muncul.

"Jakarta tuh, kapan si gak macetnya?"
"Gak tau, nyet."
"Lo sekali-sekali hack rambu lalu lintas coba."
"Gue? Gak ah, gak ada duitnya males."
"Gue yang bayar."
"Tunggu gue gak sibuk kalau gitu,"
"Ye! Bocah!

Seharusnya hanya setengah jam, jika saja para motor dan mobil itu tak berjajar membentuk barikade sialan di sepanjang jalan. Alhasil, mereka boros waktu 3 kali lipat untuk sampai.

Motor terhenti.

"Bawa dulu aja sama Lo, besok Lo jemput gue."
"Iya, yaudah gue balik."
"Iya, hati-hati lo! Jangan nabrak, kasian motor gue entar."
"Iya!"

Kembali melanjutkan perjalanan, beruntunglah Sehun saat Dewi Fortuna memilihkan rumah yang tak begitu jauh dari Wendy untuknya.

Walau tak sekompleks, minimal ia tak harus dikorupsi waktu kembali oleh Jakarta.

Sehun sampai di Istana kecilnya, tempat terindah dan nyaman untuk bersembunyi dari hingar bingar Jakarta.

Gelap menyelimuti bumi.

Pagar rumah hendak ia sentuh, namun urung begitu sesuatu menganggu pikiran.

Beberapakali dilihatlah hal yang tak ia mengerti.

"Kayaknya rumah itu kosong deh, kok lampunya nyala?"

Pergumulan pernyataan-pertayaan di otak terus saja berkecamuk.

Pergumulan pernyataan-pertayaan di otak terus saja berkecamuk

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ah, Sehun mengerti.

Rupanya, tetangga yang sudah meninggalkan rumah tua tak terawat itu kembali? Atau di sana ada penghuni baru?

Jika dugaannya benar maka Ibu akan bercerita panjang lebar lalu memasak kan hidangan istimewa untuk menyambut mereka.

Minimal, Sehun harus mendengarkan omongan-omongan sakral sang ibu setengah jam sebelum ia bebas melenggang masuk kamar.

Seseorang keluar dari pagar, merentangkan tangan dan tubuh seperti seharian penuh tak lekang dari pelukan kasur.

Terlihat nikmat dan nyaman, sungguh impian Sehun beberapa bulan belakangan ini.

Wanita itu menatap Sehun, begitu pandangan mereka bertemu.

Sehun menunduk sopan, layaknya memberi salam, tak lupa ia juga tersenyum hangat seperti biasa.

Kemudian,

"Aku pulang." lanjutnya, membuka pagar lalu memasukan motor dan diri.

NOTED

I know its crazy! But i have idea and i can't Ignore this one! I wanna know you react for flava, but yea i don't know to keep goin writing or not, let's see next week.

to be continued ...

FLAVAWhere stories live. Discover now