60. Sebuah Nama

455 105 11
                                    

ingatkan aku bahwa kamu pernah hadir dalam kenangan itu

Soojung sedang berada di toko perhiasan, melihat koleksi aksesoris terbaru dan mengobrol santai dengan penjaganya. Sementara Baekhyun, sedang serius memilih sebuah cincin yang akan dibelinya.

"Kalau lebih simple dari ini ada? Tapi nuansa elegannya jangan hilang." Tanya Baekhyun pada petugas toko.

"Sebentar," jawabnya, "Mungkin yang ini Pak? Berliannya tidak begitu kentara dan dibuat dalam size lebih kecil juga halus." Tunjuk petugas toko pada salah satu cincin yang terpajang di etalase.

"Boleh, saya mau lihat yang itu."
"Baik Pak."

Setelah selesai memilih dan membayar barang belanjaan, Soojung dan Baekhyun keluar dari toko mencari tempat makan.

"Lo serius mau ngajak nikah Seulgi?"
"Menurut Lo?"
"Gue kira... gak secepet ini."
"Gue juga bingung. Entah kenapa gue pengen Seulgi jadi milik gue seutuhnya. Maksud gue, tentu aja diri Seulgi punya dia sendiri tapi gue pengen cuman gue yang jadi satu-satunya lelaki di hidup dia."
"Anjir, merinding gue. Woy! Gak usah sok romantis Lo, bisa-bisanya ngomong kayak gitu di depan gue."
"Gue serius Lo becandain."
"Gak usah serius-serius, temenan aja."
"Maksud Lo apa?"
"Lah, gue bercanda Lo seriusin, gimana sih."
"Udah, udah, otak kita erorr kalau belum makan. Ayo buruan gue laper."

Di kota lain, Jogjakarta, Seulgi baru selesai melakukan sesi terapi dan makan obat, ia masih tak berhenti menanyakan kepulangan Sanda juga Wooyoung. Terkadang, jika sudah terlalu sering melakukannya maka Sunmi akan menangis seorang diri di kamar lalu kembali tersenyum dan menjawab ratusan pertanyaan serupa dari Seulgi dengan sabar.

"Siapa ya?"
"Ji-Sung ateu,"
"Kok kamu udah gede lagi?"
"Aku kan rajin minum susu, jadi cepet tinggi."
"Ohh gitu, pantes kamu sekarang gak kayak anak kecil."
"Ya iyalah ateu masa aku kecil terus."
"Iyah sih. Oh, Ka Sunmi di mana?"
"Ada di ruang keluarga, kenapa teu?"
"Aku mau pulang ke Bandung, ada rapat BEM buat konsolidasi Demo."
"Nanti biar yang aku kasih tau ya."
"Secepetnya please, kasian temen-temen ateu yang di Bandung."
"Iya ateu."
"Ngomong-ngomong kamu ngapain ke sini?"
"Um, anu, lihat deh teu." Ji-Sung mendekat pada Seulgi, ia telah memasuki kamar dan kini duduk bersebelahan dengan tantenya.

"Apa?"
"Aku bawa album."
"Eh?"

Wajah Seulgi sedikit heran dengan sematan album pada benda kecil yang berisikan foto-foto polaroid.

"Kamu punya album kayak gini?"
"Punya dong teu."
"Poto pas kapan? Waktu kamu di Jepang?"
"Bukan."
"Waktu kamu di Indonesia?"
"Iyah,"
"Emang kamu punya kamera polaroid?"
"Punya. Waktu aku pindah ke Jakarta, Ayah kasih aku kamera Polaroid."
"Kapan kamu pindah ke Jakarta?"
"Nanti aku cerita ya, ateu lihat aja dulu."

Dua tahun lalu, Sunmi dan suaminya menghadiahi Ji-Sung sebuah kamera polaroid karena kesukaan sang anak pada dunia fotografi walau tak pernah ia tunjukan secara terang-terangan. Kebanyakan foto yang Ji-Sung ambil adalah teman sekolah, teman bermain dan beberapa momen saat di rumah serta acara komplek.

"Ini namanya ko Ernest, dia satu-satunya orang yang punya toko kelontong di komplek aku waktu itu."
"Orang China?"
"Bener, dia juga satu-satunya orang Tionghoa di komplek kita teu."
"Kita?"
"Maksudnya... um, aku, komplek aku."
"Oh..."
"Terus, ini namanya Saena sama Tante Sarah, mereka baik banget teu. Aku paling inget soto bikinan Tante Sarah itu enaaaaak pake banget dua kali. Kalau ke Jakarta lagi aku pengen dibikinin soto sama Tante Sarah."
"Bentar deh, kamu kapan pindah ke Jakarta? Bukannya habis dari Bandung kamu langsung pindah ke Jepang?"
"Jangan tanya dulu ateu, kan nanti aku ceritain."
"Habis ateu gak ngerti."
"Gak apa-apa denger dulu aja. Nah, foto ini waktu acara syukuran Bu Dhya tetangga sebelah rumah aku. Dia juga baik banget, tapi dia pegawai kantoran jadi aku jarang ketemu dia."

Seulgi mengangguk setiap kali Ji-Sung menjelaskan satu persatu foto, tapi dalam lembaran kertas polaroid itu tak ada satu pun foto Seulgi... itu karena, ia selalu anti setiap kali Ji-Sung mencoba memotretnya.

"Ini siapa?" Tunjuk Seulgi pada seorang lelaki dengan gitar dan wajah teduhnya di taman rumah.

"Namanya Om Sehun, kenapa? Ateu inget siapa dia? Foto ini aku ambil waktu disuruh ke rumah Tante Sarah nganterin sate."

Sejenak, Seulgi menatap Ji-Sung lekat, membuat keponakannya itu seperti tengah berada dalam pacuan kuda dengan jantung nyaris meledak.

"Ateu inget?" Tanya Ji-Sung sekali lagi.

"Dia ganteng. Kok kamu gak ngasih tau ateu sih punya tentangga seganteng dia?"

Doeng

Wajah Seulgi super datar, namun ia kembali melihat foto dan memperhatikan Sehun dalam jepretan.

"Huh, aku kirain..."
"Kira apa?"
"Enggak."
"Siapa tadi namanya?"
"Sehun teu, dia emang yang paling ganteng di komplek kita."
"Kok kita mulu sih?"
"Aku, maksudnya."
"Lagian kamu tadi bilang apa? Ateu inget siapa? Orang ini? Sehun? Ya kali Ji-Sung ateu bakal lupa sama orang seganteng dia. Gak mungkin lah!"
"Maksud ateu jadi ateu inget?"
"Maksud ateu, ini baru pertama kali ateu lihat cowok ganteng di foto, apalagi aslinya ya? Jadi gak mungkin ateu lupa kalau ada cowok ganteng di hidup ateu."
"Kayaknya ateu harus ketemu sama Om Sehun deh."
"Oh kamu mau ngenalin?"

Sret

Ji-Sung menanggalkan satu foto Sehun dan memberikannya pada Seulgi.

"Buat ateu."
"Hah?"
"Siapa tau ateu bisa tiba-tiba inget kan?"
"Inget apa?"
"Enggak teu, liatin terus ya fotonya, kalau ada apa-apa kasih tau aku."
"Kamu pikir ateu maniak apa?"
"Pokoknya liatin aja. Aku mau ke bawah dulu ngerjain tugas sekolah, nanti ke sini lagi."

Sepeninggal Ji-Sung, Seulgi duduk termenung dengan foto Sehun dalam genggaman. Bagaimanapun Ji-Sung mengatakan untuk mengingat, hasilnya adalah kebuntuan karena yang Seulgi rasakan adalah ini kali pertama ia melihat lelaki setampan Sehun.

to be continued ...

FLAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang