13. Tembok Putih

796 129 16
                                    

Berduka karena bertepuk sebelah tangan

Mendapat telpon mendadak dari Kaka tercinta, Seulgi diminta menjemput keponakannya yang di bangku SMP. Rebahan dan ciki kentang harus terjeda.

Hanya ada motor di garasi, sementara Jakarta dan kendaraan umum tak menjadi pilihan saat jarak sekolah tak begitu jauh. Seulgi ingin menolak, jika saja ia tak ingat tayangan berita kemarin sore tentang pembunuhan anak remaja membuat seisi rumah jadi parno, apalagi sang Kaka yang harus berkuliah dan ipar yang kerja.

Mau tak mau, ia harus mau.

"Gak ada helm, Ka."
"Oiya Kaka lupa dipinjem sama temen Kaka kemarin."
"Terus gimana dong? Masa gak pake helm? Nanti aku kena tilang lagi."
"Coba minjem ke tetangga."
"Tetangga siapa?"
"Siapa aja yang bukain pintu waktu kamu ketuk,"
"Ampun deh Ka, harus dicoba satu-satu?"
"Gak kasian sama keponakan kamu?"
"Iya iya, Seulgi minjem dulu,"
"Kabari kalau udah mau jemput, ya."
"Iya Ka."

Masih menggunakan sweater bekas kuliah tadi, Seulgi bergegas mengetuk pintu para tetangga, beberapa di antaranya ditekan bel hingga tiga kali tapi percuma... tak ada satu pun yang membuka.

Terkahir, ada rumah Bu Sarah.

Seulgi cukup sungkan untuk meminta bantuan, meski Kakanya mungkin sudah dekat dengan Ibu Sehun itu.

Di depan pagar rumah Bu Sarah, Seulgi hanya mematung. Mengingat kejadian saat di kampus kala Sehun memberi sebotol Coca-Cola membuatnya seperti menjadi brand ambasador dadakan.

"Nak, ngapain?"

Astaga! Hampir saja Seulgi memukul Bu Sarah jika ia tak ingat sedang berada di depan pemilik rumah.

"Ha, halo Bu Sarah."
"Halo?"
"Ini, aku, em, aku..."

Wajah penasaran Bu Sarah membuat Seulgi semakin gelagapan. Ia bingung sendiri untuk merangkai kata, seolah puluhan huruf sedang berlarian dalam otak.

"Iya? Kenapa?"
"Mau minta tolong Bu Sarah,"
"Gimana? Saya bisa bantu apa?"
"Ini, em, aku diminta jemput ponakan sama Kaka. Kalau Bu Sarah punya dua helm boleh gak aku pinjem?"
"Ohhhh boleh, boleh, ada banyak kok. Ambil aja, ambil aja."
"Di mana?"
"Satu ada di garasi, satu lagi minjem punya Sehun. Garasi ada di situ, kalau kamar Sehun kamu naik ke lantai dua, langsung masuk aja, gak dikunci kok."
"Eh??"
"Anu, saya ada perlu sama Pak RT, jadi ditinggal gak apa-apa?"
"Di rumahnya ada siapa emang Bu Sarah?"
"Ada orang."

Jelas Seulgi tahu pasti ada orang. Namun terasa cukup kesal saat jawabannya tak tepat sasaran.

"Ohhhhhh...."
"Saya duluan ya. Oh... Tolong panggil Tante aja ya, jangan Bu Sarah."
"Tan, te?"
"Nah gitu, lebih enak didenger kan. Dah, Nak Seulgi."

Dari mana datangnya sifat Sehun yang irit bicara saat mengobrol dengan Seulgi? Padahal Bu- Seulgi lupa, Tante Sarah sangat aktif memproduksi kalimat, jauh berbanding terbalik dengan anaknya.

Sebelum ke garasi, Seulgi memilih untuk mengambil helm di kamar Sehun. Rencananya agar ia tak perlu repot membawa helm bulak-balik.

Begitu masuk, suasana sepi menyambut.

Entah ada siapa saja saat ini di rumah Tante Sarah.

Seulgi naik ke lantai dua, ada dua kamar di sana. Satu pintu tertutup dan satu terbuka. Sesuai instruksi Tante Sarah, ia tak perlu repot untuk mengetahui yang mana kamar milik Sehun.

Tanpa pikir panjang Seulgi langsung memasukinya,

"Permi-"

FLAVAWhere stories live. Discover now