18. Bukit Ilalang

814 123 2
                                    

Termenung menatap nasib, mengepul sisa mimpi yang berserak

"Jakarta keras, Bung!"

Itulah kata terkahir yang diucap seorang pria dipenghujung usia 40-an saat Chanyeol baru saja menginjak kan kaki, merantau tanah baru yang cukup jauh dari tempatnya dilahirkan. Sepanjang perjalanan, di bis, hirup pikuk industri memang sudah terasa, tak ayal wajah naif kali pertama bertemu ibu kota menjadi bahan pemuas rasa penasaran pria di sampingnya untuk berkhotbah panjang lebar mengenai perjuangan hidup.

"Kalau gak bisa bertahan, jadi gelandangan."
"Maaf?"
"Ya, susah-susah gampang. Lebih enak di kampung, bertani dengan udara segar, walau penghasilan gak bisa memenuhi standar hidup kelas atas, ya, minimal perut tetap terganjal. Tapi, di sini... cara kerjanya beda."
"Ohhh~"

Sudah sekian kali Chanyeol memberi isyarat tak ingin menggubris, tapi memang dasar tebal muka pun tak tahu diri. Bagaimana bisa Chanyeol kabur jika semua kursi penumpang penuh? Dia terpaksa mendengar ocehan pria itu hingga tiba di terminal.

Lamunan Chanyeol akan masa lalu berakhir, ia tak mengira sudah hampir tiga tahun lalu mendapat wejangan gratis yang tanpa sengaja harus didengar sampai kuping terasa panas.

Siapa pun dia, siapa pun lelaki dengan gaya khas seniman dan rambut awut-awutan itu, kini Chanyeol telah sepakat dengan ucapannya tempo hari. Memang, hidup di Jakarta tidak lah mudah, apa lagi jika berstatus rantau tanpa sanak saudara.

Motor milik Chanyeol sudah terparkir rapih di halaman kafe, hari ini dia akan bekerja sebelum masuk kelas nanti sore.

"Pagi Ayoen,"
"Pagi Chan,"

Ayoen, gadis manis dengan lesung pipit dan mata belo khas nusantara. Dia teman sejawat Chanyeol, sama-sama bekerja di kafe untuk memenuhi kebutuhan hidup, bedanya jika Chanyeol masih berstatus mahasiswa maka Ayu sudah tak bersekolah.

"Udah beres-beres, Ay?"
"Udah rapih, kamu cek dapur aja bantu chef."
"Oke, aku ganti baju dulu."
"Oke, Chan."

Sebenarnya, dibanding jurusan yang digeluti saat ini Chanyeol memiliki taste yang sangat baik pada bidang fashion. Tak ayal, kadang uang gajih habis untuk membeli merk-merk tertentu sebagai koleksi, itu ia lakukan bukan semata-mata ingin mengejar standar hidup orang kota hanya saja bagi Chanyeol fashion adalah dunia dimana ia bebas mengekspresikan diri maka jangan tanya kenapa? Jika banyak orang tak menyangka Chanyeol bukan lah penduduk asli ibu kota.

Tok
Tok

"Chan, Chan." Ayoen, berlari terburu pada ruang loker tempat Chanyeol berganti baju. "Chan, keluar Chan."

"Kenapa Ay?"
"Ada Pak Bos."
"Kok? Tumben sih? Bukannya beliau lagi di Hongkong?"
"Gak tau Chan, cepetan ganti bajunya, dia nyariin semua pegawai."

Urung sudah niat Chanyeol berganti baju. Dia segera keluar ruang loker, menghampiri Ayoen dengan wajah pucat pasi.

"Kamu kenapa, Ay?"
"Feeling aku gak enak, Pak Bos, mukanya bete Chan. Dia juga tadi ngebentak Bora."
"Serius kamu?"
"Serius, gimana dong?"
"Yaudah kita ke sana."

Begitu sampai di meja pengunjung, beberapa pegawai lain juga chef ikut berkumpul. Kafe masih tutup meski telah siap untuk dibuka.

FLAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang